Rabu, 27 Januari 2021

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ARTIKEL ILMIAH

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Siti Sarah Nurhikmah D.1910063

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Djuanda Bogor

2020

 

Pendahuluan

Etos kerja menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja. Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan

pada tumbuhnya budaya dan etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk memberikan pengertian dan pemahaman yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka me-mahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.

Islam, di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama yang menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umum-nya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. Sebagai manusia biasa mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman dan amal salehnya.

Dalam suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam ditantang untuk bisa survive, dan membangun kembali tatanan kehidupannya–moral, ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, untuk membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada umat Islam sebagai khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat. Dalam makalah ini, penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang dianggap penting untuk didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana sebenar-nya etos kerja dalam perspektif Islam? Pertanyaan dan kajian ini penting karena ada sebagian kalangan dan analis berpendapat bahwa etos kerja umat Islam lemah dibandingkan negara-negara non-Muslim lainnya.

Pengertian Etos Kerja

Pengertian kamus bagi perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya, pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta ke-percayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Juga dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.

Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat. Weber mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a person, group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.

Adapun indikasi-indikasi orang atau sekelompok masyarakat yang beretos kerja tinggi, menurut Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, ada tiga belas sikap yang menandai hal itu:

1. Efisien

2. Rajin

3. Teratur

4. Disiplin atau tepat waktu

5. Hemat

6. Jujur dan teliti

7. Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan

8. Bersedia menerima perubahan

9. Gesit dalam memanfaatkan kesempatan

10. Energik

11. Ketulusan dan percaya diri

12. Mampu bekerja sama

13. mempunyai visi yang jauh ke depan.

Menurut Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri berkenaan dengan orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara lain;

1. Etos kerja dan disiplin pribadi

2. Kesadaran terhadap hierarki dan ketaatan

3. Penghargaan pada keahlian

4. Hubungan keluarga yang kuat

5. Hemat dan hidup sederhana

6. Kesediaan menyesuaikan diri.

Beberapa indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan dari pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja.

Etos Kerja dalam Kajian Budaya dan Agama

Masalah etos kerja memang cukup rumit. Nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkan dari yang lemah ke arah yang lebih kuat atau lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat saja.

Salah satu teori yang relevan untuk dicermati adalah bahwa etos kerja terkait dengan sistem kepercayaan yang diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu – dengan sistem kepercayaan tertentu – memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih buruk) dari masyarakat lain – dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan seorang sosiolog, Max Weber, terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat menjadi dasar apa yang terkenal dengan “Etika Protestan”.

Para peneliti lain – mengikuti cara pandang Weber – juga melihat gejala yang sama pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang berbeda, seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert N. Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), Jainisme dan Kaum Farsi di India, kaum Bazari di Iran, dan seorang peneliti mengamati hal yang serupa untuk kaum Isma‟ili di Afrika Timur, dan sebagainya. Semua tesis tersebut bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama bertitik tolak dari keimanan atau budaya mereka masing-masing.

Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi tertentu, juga merupakan hasil pengamatan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik setelah mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti umumnya negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong laju perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi seperti sekarang. Pada dekade tahun 80-an, di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia pun tumbuh minat yang cukup besar untuk membuktikan kebenaran tesis Weber di atas. Bahkan pada waktu itu pernah muncul suatu gagasan untuk membangun suatu sistem teologi yang dapat mendorong keberhasilan proses pembangunan di Indonesia. Pada saat itu suatu gagasan yang disebut dengan “Teologi Pem-bangunan”, bahkan di Kaliurang Yogyakarta, pernah diadakan seminar tentang Teologi Pembangunan ini.

Gagasan tentang Teologi Pembangunan ini dilandasi oleh asumsi-asumsi:

(1) sistem teologi yang dianut oleh umat Islam Indonesia belum mampu mendorong dan membangkitkan etos kerja yang tinggi.

(2) umat Islam Indonesia mudah sekali menyerah ketika mengalami suatu kegagalan.

(3) umat Islam Indonesia bersifat pasif, fatalis dan deterministic serta asumsi-asumsi lainnya.

Namun demikian, karena masalah teologi sangat sensitif, akhirnya gagasan-gagasan yang pernah dicetuskan itu berakhir dengan tanpa memperoleh rumusan yang jelas dan sistematis. Kalau kita mau mencermati dan mengkaji makna-makna yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, maka kita akan menemukan banyak sekali bukti, bahwa sesunguhnya ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada tumbuhnya budaya dan etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk mem-berikan pengertian dan pemahaman yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Etos Kerja dalam Perspektif Islam

 a. Pengertian Etos Kerja dalam Islam

Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, se-seorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.

Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.

Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:

KHI     = T, AS (M,A,R,A)

KHI     = Kualitas Hidup Islami

T          = Tauhid

AS       = Amal Shaleh

M        = Motivasi

A         = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)

R         = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)

A         = Action, Actualization.

Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.”

Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.

b. Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam meng-ajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:

1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, 17: 36).

2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).

3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mulk: 67: 2). Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.

4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9: 105).

5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.

6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. 53: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian terhadap-nya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam agama.

7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat ter-kenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.

8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk ke-beradaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.” Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri:

“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan”. Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan. “Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia).

Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya.

9. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini:

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu”. Sebaliknya ber-katalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.

Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.

Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah). Maka adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah al-Jumu’ah: “Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”.

Dari prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut:

1) Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership)

2) Selalu berhitung

3) Menghargai waktu

4) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements)

5) Hidup berhemat dan efisien

6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)

7) Memiliki insting bersaing dan bertanding

8) Keinginan untuk mandiri (independent)

9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan

10) Berwawasan makro (universal)

11) Memperhatikan kesehatan dan gizi

12) Ulet, pantang menyerah

13) Berorientasi pada produktivitas

14) Memperkaya jaringan silaturrahim

Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam

Nilai kerja dalam masyarakat Islam mulai merosot akibat berkembangnya pemerintahan feodal yang zalim. Dalam sistem pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan yang mewah di kalangan elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan motivasi rakyat untuk bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat “lari” kepada Tuhan. Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama dalam ajaran Islam, bersifat membebaskan. Tauhid telah menghapus sistem hak milik feodal, karena seluruh hak milik raja dan penguasaan tanah oleh kaum feodal itu “diambil alih” oleh Tuhan untuk dilimpahkan kembali kepada rakyat. Tapi rakyat yang tak bersenjata tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah aliran tasawuf.

Dalam dunia Islam di Timur Tengah, timbulnya aliran-aliran tasawuf berkorelasi positif dengan berkembangnya pemerintahan otoriter. Dalam keadaan yang lemah secara ekonomis, politis maupun mental, rakyat tidak bisa mendukung pemerintahan. Itulah sebabnya pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur oleh invansi dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum Muslim adalah akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke tangan penjajah karena pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan lemah karena didukung oleh rakyat yang lemah akibat pemerintahan yang otoriter dan represif. Dewasa ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam kategori negara-negara sedang berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok negara-negara yang pada masa Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde Dunia sekarang yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam malahan jatuh ke tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh sistem kolonialisme. Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan keterbelakangan di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi melalui mekanisme kolonialisme dan imperialisme.

Eksploitasi pada zaman penjajahan itu merupakan penjelasan atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk Indonesia. Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum muslim itu rendah, padahal dewasa ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam. Filipina juga sebuah negara yang masih terbelakang ekonominya, padahal mayoritas penduduknya beragama Katolik. Sebab-sebab kemiskinan itu adalah faktor-faktor yang kompleks yang terjalin dalam sejarah dan karena itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan etos kerja. Harapan perkembangan dunia Islam agaknya berasal dari dunia pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata bergantung kepada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dkembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Apabila kelak sudah banyak tenaga-tenaga muda terpelajar di pusat dunia Islam, maka orientasi mereka terhadap etos industri akan berkembang.

Dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat dalam pergerakan Indonesia agaknya mengambil tema yang berbeda-beda dari al-Qur‟an yang menyebabkan tumbuhnya etos yang berbeda di antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah dengan cita-cita kemasyarakatan ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi). Muhammadiyah mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104, sedangkan ayat yang dijadikan dasar ber-organisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah surah Ali Imran ayat 103. Di kalangan cendekiawan Muslim telah berkembang etos di sekitar konsep Ulul al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali „Imran ayat 190-191. Yang pertama menekankan dakwah amar ma’ruf nahy munkar, sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat. Sementara itu, ICMI (yang berdiri 7 esember 1990) menekankan peranan kelompok pemikir dalam perkembangan masyarakat.

Penutup

Sebenarnya, etos kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam–al-Qur‟an dan al-Sunnah– tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerja-kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang diharapkan lebih baik dan produktif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam.

Dalam implementasinya, umat Islam merumuskan tema tertentu dalam mengembangkan etos kerjanya; ada yang menampilkan etos “khaira ummah” sebagai dasar pijaknya, ada pula etos “keadilan”, etos “musyawarah”, etos “ulul al-bab”, etos “imamah”, etos “tauhid yang membebaskan”, etos “iptek”, etos “persamaan gender”, etos “HAM”, etos “pluralisme”, dan sebagainya. Semua tema tersebut pada dasarnya digali dari al-Qur‟an. Munculnya keragaman tema karena latarbelakang umat Islam yang beragam dengan segala kepentingan yang juga berbeda, sehingga skala prioritas yang mungkin ingin ditujunya melalui tema-tema tertentu yang dianggapnya penting untuk dikembangkan dalam konteks tuntutan dan semangat zamannya. Tujuannya tetap sama, “hasanah” di dunia, dan “hasanah” kelak di akhirat. Dan ini tidak berarti mengabaikan ayat-ayat al-Qur‟an lainnya yang tidak dirumuskan dalam bentuk tema tertentu dimaksud. Setiap Muslim memiliki kesempatan dalam mengakses ajaran al-Qur‟an sesuai kemampuan dan kebutuhannya. Disinilah kunci utama universalisme ajaran Islam–shalih likulli zaman wa makan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar