KERAJAAN TERNATE
Kerajaan
Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara
abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di
paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada
masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian
utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh
Kepulauan Marshall di Pasifik.
Raja
Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah
putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat
menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke
Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah
mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah,
Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah,
Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate
meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan
dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
Kedatangan Islam
Tak
ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat
Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah
bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama
bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam
masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano
Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang
diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya
dengan sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam
diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan
melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di
Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang
pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan
Bualawa (Sultan Cengkih).
Kehidupan ekonomi, sosial, dan
kebudayaan
Perdagangan
dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah
menjadi kerajaan penting di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate
menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan
rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi
perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang
bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak
menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari
Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat
sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari
kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal
kora-kora.
Pengusiran Portugal
Perlakuan
Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun.
Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga
kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh
dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi
Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak
ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran
Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki
benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki
sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka,
Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon
damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita
mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan
Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal,
bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur
Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal
meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah,
Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan
Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina
Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan
Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga
menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia
timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah
Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15
entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka
adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.
Kedatangan Belanda
Putra
Sultan Ternate bersama seorangcontroleur dan seorang warga Belanda(sekitar
tahun 1900). Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan
Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai
kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol
memperkuat kedudukannya diFilipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan
Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati
berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan
demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun
1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat
mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal
26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku
sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda
membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di
nusantara.
Sejak
awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya
adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan
wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan
Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual
rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan Rakyat Maluku dan
Kejatuhan Ternate
Semakin
lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda dengan
leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan.
Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut
menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada
beberapa pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku:
1.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan
dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan
besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal
sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada
tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di
Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati
bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga
1646.
2.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate
mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap
Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap
cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi,
Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima
tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara
Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin
pemberontakan di Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan
raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil
menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha
(1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali
dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan.
Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan
Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
3.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang
lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan
tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan
Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan
kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis
perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang
dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal
7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri
masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski
telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman
Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya,
bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di
Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas
termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan
tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki
Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan
dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat
dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia
Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah
dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung
tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca
penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama
14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras
yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan
Belanda di Batavia.
Dalam
usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Kemunduran Kerajaan
Pusat
perkembangan perdagangan di Maluku mengakibatkan terbentuknya persaingan antar
persekutuan. Persaingan menjadi semakin tajam setelah datangnya bangsa Eropa ke
kerajaan yang merupakan kerajaan maritim. Hasil kebudayaan yang terkenal adalah
perahu kora – kora. Selain itu, jenis – jenis kebudayaan Maluku tidak banyak
diketahui menjadi bagian dari kemunduran Kerajaan Ternate – Tidore.
Kemunduran
Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang
dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk
memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan
Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar
Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang
dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
Warisan Ternate
Imperium
Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan
abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang
masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat
besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan
pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakupagama, adat-istiadat dan
bahasa.
Sebagai
kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar dalam
upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur
nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta
penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal
Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa
perubahan yang berarti.
Keberhasilan
rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada tahun
1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh
karenanya Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda
penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh
kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur
Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan
Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa
Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah
pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate
dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan
bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang
digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di
Manado diambil dari Bahasa Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini kini digunakan
luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah
dan Selatan, Maluku dan Papuadengan dialek yang berbeda–beda.
Dua
naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal
tanggal 27 April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di
dunia setelah naskah Melayu Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat
tersebut saat ini masih tersimpan di Museum Lisabon, Portugal.
Adapun peninggalan kerajaan ternate antara lain: Istana
Sultan Ternate, benteng kerajaan Ternate dan masjid Ternate.
Penerapan hukum islam di kerajaan ternate
BalasHapus