TOKOH POLITIK ISLAM KONTEMPORER: IMAM KHOMEINI
oleh: Anugrah Romadhon
oleh: Anugrah Romadhon
Abstrak
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan sosok Imam Khomeini, dia sosok
pribadi yang memperoleh pendidikan agama yang sangat memadai dari berbagai
cabang ilmu Islam. Imam Khomeini di samping sebagai seorang mujtahid, juga
seorang pejuang dan pemikir. Ia banyak melahirkan ide-ide baik yang berkaitan
dengan politik, sosial, pendidikan, keagamaan, kenegaraan, filsafat dan ilmu
pengetahuan. Imam Khomeini adalah pejuang melawan rezim yang tiran dan kuat,
maka sebagian besar pemikirannya dikembangkan dalam perspektif politik termasuk
ketika ia mengungkapkan pemikirannya tentang persoalan keagamaan. Dalam bidang
politik gagasannya yang paling menonjol adalah upayanya membentuk sistem
pemerintahan theokratis dan lembaga wilayat al-faqih (pemerintahan ahli hukum
Islam).
Pemikiran politik Imam Khomeini pada prinsipnya bahwa spiritual dan
politik tidak terpisahkan, serta tidak terpisah dari irfan dan ahlak, sebagai
simbol pemikiran politiknya Imam Khomeini, atau dapat dikatakan bahwa dalam
pandangan Imam Khomeini bahwa politik dan Agama tidak dapat di pisahkan, sebagaimana
pula sosok Imam Khomeini, pemikiran politiknya di latar belakangi oleh mazhab
Syi’ah yang telah di anutnya. Rahasia keberhasilan Imam Khomeini terletak pada
pemikirannya yang terpesonifikasikan dalam sebuah sistem yang di saksikan oleh
seluruh mata masyarakat dunia.
Ajaran politik Imam Khomeini jati diri manusia selain berharga dan
memiliki kemuliaan, keyakinan yang kuat dan tulus akan peran rakyat, kehormatan
dan kehendak manusia. Hasil dari kemuliaan dan kehormatan manusia dalam
menentukan umat manusia dan sebuah masyrakat menjadikan suara rakyat mempunyai
peran mendasar dalam pemikiran pilitik Imam Khomeini. Oleh karenanya, demokrasi
dalam ajaran politik Imam Khomeini yang di ambil dari teks Islam adalah
demokrasi yang Hakiki. Tidak seperti demokrasi yang di gembar–gemborkan oleh
Negara barat yang hanya menipu dan memperdaya benak manusia.
Kata
kunci: Pemikiran Politik, Pemerintahan,
Imam Khoemeini
Pendahuluan
Imam Khomeini bernama lengkap Imam Ruhullah al-Musawi al-Khomeini,
lahir pada 20 Jumadil Akhir 1320 (24 September 1902) dan bertepatan dengan hari
ulang tahun kelahiran Fatimah al-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW, di kota
Khomein yang dulu disebut propinsi Kamareh, sekitar 300 km dari Teheran.[1]
Tidak ada cerita-cerita isrimewa ketika Khomeini dilahirkan, di
suatu desa kecil bernama Khomein, pada 1901/1902 M, kecuali bahwa hari lahirnya
bertepatan dengan ulang tahun kelahiran Fathimah binti Rasulullah, satu di
antara empat belas “orang suci” menurut kepercayaan Syiah. Keluarganya tidak
saja dikenal taat beragama, bahkan ayahnya Sayyid Musthafa Musawi adalah
seorang Ayatullah dan pemuka masyarakat. Lebih dari itu, sang ayah terbunuh di
tangan Wali Kota Khomein ketika memprotes pemerasan dan pajak yang tidak adil,
serta praktik-praktik penindasan yang dilakukan oleh aparat Dinasti Qajar di
daerahnya itu. Ibunya pun adalah putri seorang ayatullah terkemuka di
wilayahnya, Ayatullah Mirza Ahmad.
Karena wafatnya sang ayah dalam usia muda, ia dibesarkan dalam
asuhan ibu dan bibinya, Sahiba. Baru lima belas tahun umurnya. ketika sang bibi
pun meninggalkannya untuk menghadap Tuhan. Tak lama kemudian, menyusul pula
ibunya wafat. Wafatnya orang-orang yang paling disayangi itu dalam usianya yang
masih amat muda, tak urung memukulnya. Menurut riwayat, ia pun besar sebagai
anak muda yang serius, banyak merenung, bahkan menyendiri di padang pasir di
dekat tempat kediaman nya. Dengan demikian, giliran sang kakak, Pasandideh kelak
juga seorang ayatullah mengasuhnya, sekaligus menjadi guru pertamanya di bidang
ilmu-ilmu keislaman, khususnya di bidang Logika dan Bahasa Arab. Namun, karier
pendidikan formalnya dimulai ketika ia berusia tujuh belas tahun, sewaktu pergi
melanjutkan pelajarannya ke Kota Arak. Tak terlalu lama ia belajar di kota
kecil ini antara lain bersama (pada waktu itu, calon) Ayatullah (Araki, salah
seorang marja' taqlid dewasa ini) sebelum akhirnya berangkat ke Qum, pusat
studi keislaman di Iran. Segera saja, Khomeini tampil sebagai salah seorang
murid yang paling menonjol di kota itu. Di bawah bimbingan Syaikh Abdul Karim
Haiti-mujtahid terkemuka pada masa itu Khomeini mempelajari fiqih. Pada saat
yang sama, ia juga mempelajari Filsafat dan irfan yakni tasawuf di bawah
bimbingan seorang guru yang dipandang ahli di bidang itu, Mirza Muhammad 'Ali
Syahabadi. Sebelum kelak menjadi mujtahid (marja' taqlid)’, kemasyhuran
Ruhullah Khomeini diperoleh dalam kedua bidang ini. Ia bahkan telah menjadi
guru filsafat dan irfan sejak usia 27 tahun. Pada usianya yang amat muda ini,
ia menulis pula sejumlah buku, sebagian merupakan komentar atas karya penulis
klasik. Pada usia tiga puluh tahun, ia menikah dengan putri seorang agamawan
terkemuka dan hingga wafatnya memiliki dua orang putra dan tiga orang putri.
Putranya, Musthafa Khomeini-seorang Hujjatul Islam muda terkemuka, sekaligus
tangan kanan ayahnya-wafat secara misterius, yang dipercayai sebagai akibat
pembunuhan oleh agen-agen dinas rahasia Iran masa Syah (SAVAK). Sedangkan yang
kedua, Ahmad Khomeini juga seorang Hujjatul Islam, yang kemudian menggantikan
posisi kakaknya menjadi salah seorang tokoh berpengaruh di Republik Islam Iran
(RII). Di antara putri-putrinya, Zahra Mushaiawi adalah seorang doktor dan
dosen filsafat di salah satu universitas di Iran.
Hingga sebelum 1963, ketika ia memulai kegiatan penentangan politiknya
terhadap rezim Pahlevi, karier keagamaannya terus menanjak dengan pesat. Kedudukan
keagamaannya meningkat menjadi Ayatullah. Semakin banyak pula murid yang
belajar di bawah bimbingannya. Konon, terdapat 5000-an murid sang Ayatullah yang
tersebar di seluruh Iran dan menempati kedudukan dan jabatan-jabatan penting di
negeri ini, termasuk di antara muridnya adalah almarhum Murtadha Muthahhari,
Sayyid 'Ali Khamene'i, Hashemi Rafsanjani, Husein 'Ali Muntazhiri, Musa Shadrpendiri
gerakan 'Amal di Lebanon.[2]
Pemikiran
Politik Imam Khomeini
Imam Khomeini berkeyakinan bahwa Islam itu bersifat politis, kalau
tidak maka agama hanyalah “omong kosong” belaka. Menurut beliau “al-Quran” memuat,
seratus lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial
dari pada soal–soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis, barang kali hanya ada
tiga atau empat yang membahas soal soal sembahyang atau kewajiban manusia
terhada Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya ada sangkut-pautnya
dengan masyarakat, ekonomi, hukum, politik dan negara. Jangan sekali-kali
mengatakan bahwa islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan
dan mahluk–Nya.[3]
Pemisahan Agama dan Politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak
boleh ikut campur dalam masalah–masalah sosial–politik, menurut Imam khomeini,
merupakan bagian dari propaganda imperialisme. Ia mengecam para ulama yang
enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial-politik, mereka ini, oleh
Imam Khomeini, di nilai sebagai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan
misi yang di delegasikan padda mereka yang oleh para imam. Namun, yang lebih
buruk, menurut Imam Khomeini, adalah para “ulama istana“(ulama of the caurt akhund-ha-yidarbari,
yaitu mereka yang berdampingan dengan syah dan menerima jabatan di bawah rezim
Syah). Para ulama seperti itulah adalah “ musuh Islam”.[4]
Konsep pemisahan agama dan Negara, menurut Imam Khomeini,” di jejalkan
ke dalam otak kaum muslim oleh agen-agen kolonialisme untuk mencegah perjuangan
kaum muslim meraih kemerdekaan dan kebebasan. Kolonialis ingin mencegah kaum
muslim dari industrialisasi dan ingin meneruskan ketergantungan kaum muslim
pada indutri mereka.[5]
Di awal decade 1960 an, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mendeklarasikan
pertentangan nya terhadap rezim Reza Syah pahlevi dan menuntuk kemerdekaan
bangsa iran dari bangsa-bangsa imperialis. Imam Khomeini menyerukan kepada
rakyat agar menolak segala bentuk kezaliman dan kesewenang wenangan. Bangsa
iran menyambut seruan ini dan pada bulan juni 1963 mereka bangkit dan
menyerukan penggulingan rezim monarki dalam menghadapi demonstrasi rezim Syah
melakukan tindakan yang represif, Para pejuang di bantai dan para ulama di
asingkan.
Di tangan Khomeini-lah Islam Syi’ah menjadi menjadi suatu kekuatan revolusioner
pada abad ke 20. Tidak hanya itu, beliau juga telah menggugurkan tesis dari
Marx, di mana Beliau ( Marx ) mengatakan agama itu candu. Sedangkan di tangan
Imam Khomeini, Agama tidak dapat di pisahkan dengan urusan–urusan duniawi,
seperti sosoal, politik, budaya dan ekonomi. Beliau menolak tegas jika Islam di
samakan dengan marxisme. Islam berlandaskan pada Keesaan Tuhan, jadi merupakan
anti-tesis dari Marxisme.
Pemikiran politik Imam Khomeini sangat di pengaruhi oleh ajaran keyakinan
yang di anutnya, yaitu islam mazhab Syi’ah. Dua hal yang hampir tak dapat di
pisahkan dari revolusi Islam Iran adalah Imam Khomeini dan Syi’ah. Mengapa? Pertama,
Syi’ah merupakan mazhab yang di anut mayoritas penduduk Iran. Di Iran, Syi’ah
mempunyai akar historis yang sangat kuat. Negara Syi’ah yang pertama juga lahir
di iran, yaitu ketika dinasti Safavid (1501-1722) menjadikan Islam mazhab Syiah
sebagai agama resmi negara persia. Kedua, Syi’ah barang kali menjadi
satu-satunya mazhab dalam islam yang secara tegas menolak pemisahan agama dan
politik, baik secara segi praktek maupun secara konseptual. Syi’ah memang lahir
karena sebab politik. Istilah syiah yang dalam bahasa Arab berarti partai - berasal
dari Syi’atu Ali, partai atau faksi Ali yaitu yang mendukung Ali bin Abi
Thalib sebagai calon untuk jabatan politik, setelah Nabi Saw wafat.
Pemerintahan politik Imam Khomeini tentang Wilayat Al-Faqih (pemerintahan
kaum ulama) yang menjadi bagian terpenting dalam sistem Republik Islam Iran,
tidak bisa di lepaskan dari Doktrin Imamah tersebut. Bahwa selama satu
darsawarsa terakhir iran berupaya mentranformasikan pemikiran politik Imam
Khomeini, hal itu bisa di anggap sebagai semacam ekseperimen. Dalam suatu
eksperimen, modifikasi yang menuju ke arah perbaikan yang tentu tak dapat
dihindarkan.
Imam khomeini menghendaki suatu bentuk pemerintahan islam, dimana kekuasaannya
sepenuhnya berada di tangan fuqaha (alim-ulama), yaitu mereka yang memiliki
pemahaman tentang ajaran dan peraturan islam, serta memiliki keutamaandalam iman
dan ahlak, gagasan beliau yang di kenal sebagai Wilayat Al-Faqih ( pemerintahan
para fuqaha ). Sudah di kemukakan secara konsisten sejak meletusnya revolusi
iran. Gagasan tersebut antara lain:[6]
1.
Para alim-ulama
yang berhak menjadi penguasa dalam sebuah negara islam, adalah lelaki yang
memiliki kecerdasan dan kepandaian yang luas sehingga mampu menggerahkan
potensi masyarakat.
2.
Seorang fuqaha
berfungsi sebagai pewaris Nabi, oleh kerenanya mempuyai tugas dan kewajiban
untuk mempergunakan angkatan bersenjada dan aparat politik, demi pelaksanaan
hukum-hukum Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran
bangsa.
3.
Membentuk
pemerintahan atau negara islam, hukumnya wajib bagi setiap umat islam,
khususnya para alim-ulama dimanapun mereka berada, karena itu merupakan bagian
utama dari aqidah Immamiyah
4.
Negara atau
pemerintahan islam diperlukan demi tegaknya hukum-hukum Islam, karena hukum
apaun tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya suatu kekuasaan eksekutif.
5.
Di dalam Negara
Islam, para wakil rakyat tidak dapat berhak membuat undang-undang, karena
undang - undang atau dasar hukum (Islam) di peroleh langsung dari Tuhan, yaitu
Al-Quran dan Hadis.
Gagasan
kenegaraan Imam Khoemeini lebih ekspresif tertuang dalam kitabnnya Hukumat-i-Islam (pemerintahan Islam).
Dalam buku ini, setidaknya ada tiga masalah penting yang dibahas Khomeini,
yaitu kebutuhan terhadap pembentukan institusi politik Islam, wilayah al-faqih
atau pemerintahan ulama, dan program kerja yang disusun Imam Khoemeini untuk
membentuk sebuah negara. Menurut Khoemeini, Islam adalah agama yang dinamis,
membela keadilan menegakan kebenaran dan membebaskan manusia dari
kesewenang-wenangan dan penindasan. Imam Khoemaini mengingatkan kewaspadaan
umat Islam dari propaganda pihak-pihak yang memusuhi Islam, yang menyatakan
bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak ada
kaitannya sama sekali dengan politik dan pemerintahan. Ia menegaskan penyatuan
agama dan politik. Menurutnya siapa saja yang mengklaim bahwa pembentukan
negara Islam tidak perlu untuk dilaksanakan, maka secara implisit ia telah
menolak perlunya pelaksanaan hukum-hukum Islam, pemberlakuan secara umum
hukum-hukumnya dan kebenaran abadi dari Islam itu sendiri.[7]
Pembentukan
pemerintahan Islam merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tidak dapat
ditawar-tawar. Namun demikian, Khoemaini melihat bahwa dunia Islam masih mengalami
kendala hebat dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan Islam ini. Khoemeini
mendiagnosa dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya cita-cita negara Islam.
Pertama,
pengaruh imperialisme bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam. Menurut
Khoemeini imperialisme barat tidak hanya menguasai dan menjarah kekayaan alam
dunia Islam dan memecah belah umat Islam saja, tetapi juga telah merusak
tatanan sosial politik kemasyarakatan umat Islam. Menurut Khomeini, kaum
imperialisme Barat menyebarluaskan pandangan diantara umat Islam bahwa Islam
tidak memiliki bentuk pemerintahan khusus dan institusi pemerintahan. Kalaupun
ada hukum-hukum tertentu dalam Islam, ia tetap tidak memiliki metode yang dapat
menjadikan penganutnya untuk menjalankan hukum-hukum tersebut, sehingga
fungsinya semata-mata hanya legislatif.[8]
Bangsa-bangsa
barat mengampanyekan bahwa Islam tidak memiliki ajaran yang bersifat kenegaraan
dan kemasyarakatan. Islam tidak memiliki pemerintahan khusus dan hanya mengatur
masalah haid dan nifas, Islam dalam kampanye bangsa-bangsa Barat, tidak
memiliki gagasan untuk diterapkan di dalam kehidupan manusia secara umum dan
pengaturan atas masyarakat. Propaganda dan kampanye sesat ini termakan oleh
sebagian umat Islam. Mereka ikut pula mengembangkan pemikiran pemisahan agama
dan negara. sebagian pemikir Muslim ada yang ikut-ikutan mengembangkan gagasan tidak adanya pemerintahan
dalam Islam. mereka mengaggap bahwa Islam hanya agama yang mengatur masalah
ibadah, dan untuk sosial kemasyarakatan serta kenegaraan umat Islam tidak ada
salahnya meniru barat.
Khoemaini
mengungkapkan tipu daya kaum imperialisme Barat bahwa mereka tidak menginginkan
umat Islam untuk menjadi sebenar-benarnya manusia, karena mereka takut pada
manusia yang sebenarnya. Meski hanya seorang manusia yang sebenarnya yang
muncul, mereka tidak akan membiarkannya, karena yang lain akan mengikuti
manusia tersebut. Manusia sebenarnya inilah yang akan berjuang menghancurkan
seluruh fondasi tirani, imperialisme, dan pemerintahan boneka Barat. Mereka
akan akan membunuh manusia yang berjuang melawan imperialisme Barat tersebut.
Mereka mempropagandakan bahwa manusia sebenarnya itu adalah ulama politik.
Tidak layak bagi ulama melakukan kegiatan politik. Propaganda ini dilakukan
untuk menjatuhkan umat Islam. dari politi, mencegah umat Islam ikut campur
tangan dalam urusan masyarakat dan berjuang melawan pemerintahan yang curang.
Mereka anti Islam dan ingin mewujudkan keinginan mereka tanpa ada seorang pun
yang akan datang menghalangi dan mencegah mereka.
Kedua
pemerintahan yang tidak Islami. Setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib,
penguasa-penguasa Muslim telah mengubah pemerintahan Islami yang demokratis
menjadi monarki yang kekuasaan dialihkan secara turun temurun. Ini berlangsung
sampai saat sekarang. Bagi Khomeini, pemerintahan secara tidak Islami adalah sistem
kufur dan penguasanya disebut thaghut. Khomeini sendiri mengalami
pemerintahan Shah Iran Reza Pahlevi yang tirani dan thaghut tersebut. Ironisnya kekuasaan non-Islami ini didukung penuh
oleh negara-negara Barat. Mereka berkepentingan terhadap penguasa-penguasa thaghut di Dunia Islam karena memberi
keuntungan materi maupun non-materi kepada mereka. Dengan mendukung
negara-negara yang dipimpin oleh thaghut
ini bangsa-bangsa Barat dapat mengeruk dan menguras habis kekayaan yang ada di
negara-negara Muslim. Mereka menjadikan negara-negara Muslim yang dipimpin oleh
diktator tersebut sebagai boneka. Akhirnya negara-negara Muslim tersebut memiliki
tingkat ketergantungan yang tinggi kepada bangsa-bangsa Barat. Tidak jarang
penguasa di negara Muslim melakukan tekanan terhadap rakyatnya sendiri dibawah
dukungan penuh negara-negara Barat. Akhirnya terjadilah kerusakan dan
kehancuran terhadap rakyatnya sendiri di bawah penuh dukungan negara-negara
Barat. Akhirnya terjadilah kerusakan dan kehancuran dan kehancuran di negara
Muslim. Khoemaini mengecam bagaimana pemerintahan Shah RezA Pahlevi telah
membawa kerusakan di muka bumi. Karrena itu bagi Khoemaini, tidak ada pilihan
kecuali menghancurkan kekuasaan sewenang-wenang thaghut tersebut sehingga hilanglah kerusakan yang ada.[9]
Propaganda
bangsa Barat dan dukungan mereka terhadap pemerintahan yang tirani
negara-negara Muslim menjadi penyebab umat Islam tidak dapat menegakan
pemerintahan Islam. kedua hal ini saling mendukung dalm menghambat pembentukan
pemerintahan Islam, karena akan merugikan kepentingan mereka. Oleh sebab itu
untuk mejamin kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan tanah Muslimin dari
pendudukan dan penetrasi bangsa-bangsa imperialis Barat serta untuk
mengenyahkan pemerintahan boneka Barat yang sewenag-wenang terhadap umat Islam,
Khoemaini menegaskan pentingnya sebuah perjuangan pemerintahan Islam yang adil.
Khomaini
menekankan pentingnya ulama mengambil alih peran ini. Ulama sangat penting
sekali mengambil peran ini dan berjuang melawan pengkhianat dan agen-agen Imperialisme
asing agar masyarakat hidup sejahtera dan tidak membiarkan masyarakat dalam
keadaan kelaparan, menderita, dan kehilangan sumber-sumber kekayaan dari negara
Muslim dan hidup bermewah-mewahan. Ulama inilah yang dimaksud dengan manusia
sebenarnya. Ulama tidak boleh berdiam diri melihat keadaan yang seperti ini.
Seorang ulama harus menggerakan masyarakat untuk merebut hak-hak mereka yang
trlah diambil oleh para pengkhianat dan membebaskan mereka dari penjajahan
Barat serta kesewang-wenangan pemerintahan boneka Barat.
Menurut
Imam Khoemeini, ada beberapa karakteristik pemerintahan Islam. Pertama, tidak
bersifat tirani, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang
bertindak sewenang-wenang atas masyarakatnya. Kedua, berbasis hukum. Kedaulatan
hanyalah milik Allah dan hukum adalah keputusan dan pemerintahan-Nya. Ketiga,
hakikat pemerintahan Islam, sejalan dengan prinsip kedua, adalah ketaatan
kepada hukum.[10]
Karier Politik
Keprihatinan sosial sudah sejak dini menonjol dalam diri Khomeini muda.
Bahkan pada 1941, ketika masih berusia 39 tahun, sebuah bukunya yang berjudul Kasfy
Al-Asrar (Pengungkapan Rahasia-Rahasia) telah diterbitkan. Khomeini, yang
pada waktu itu baru bergelar Hujjatul Islam, secara blakblakan menuding Reza
Syah sebagai budak Inggris, tiran, koruptor, dan penguasa anti-Islam. Meskipun
demikian, karier politik Ruhullah Al-Khomeini bermula pada sekitar tahun 1963, setelah
tergulingnya rezim nasional Mushaddiq pada masa itu.
Syah Iran, yang didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Iran oleh
CIA. terbukti tak kalah bersifat diktator dibandingkan ayahnya. Berbagai
“kebijaksanaan" yang dikeluarkan hanya membuktikan dirinya sebagai
penguasa yang korup dan anti-Islam. Sejak Maret 1963, Ayatullah Khomeini
menguvapkan pidato-pidato dan mengeluarkan pernyataa-pernyataan yang mengecam
Syah secara terbuka.
Pada tahun itu juga. Ayatullah Khomeini ditangkap oleh polisi dan
tentara rahasia Syah setelah selesai menyampaikan salah satu pidatonya di
madrasah yang dipimpinnya di Kata Qum. Sejumlah korban berjatuhan dalam
peristiwa ini. Ayatullah Khomeini dibawa ke Teheran dan ditahan di Penjara Qasr
di keta itu. Keesokan harinya, para pendukungnya turun ke jalan-jalan. menuntut
pembebasan pemimpin mereka. Di beberapa kora juga dilancarkan pemogokan-pemogokan.
Pasukan keamanan berupaya meredakan kerusuhan tersebut dengan kekerasan.
Dilaporkan, korban yang tewas mencapai 15.000 orang di Teheran dan sekitar 400
di Qum.
Akibat tekanan rakyat, kurang dari setahun setelah penangkapan,
Ayatullah Khomeini dibebaskan dari tahanan. Namun, sebaliknya dari mengurangi
kecaman-kecamannya, Ayatullah Khomeini justru semakin memperhebat serangannya
kepada rezim yang berkuasa. Ia pun kembali dijebloskan ke penjara, yang disusul
dengan pengasingannya ke Bursa di Turki, bermula pada November 1964. Hampir
setahun berada di negeri itu, tempat pengasingannya berpindah ke Najaf, Irak.
Seperti diketahui, Najaf adalah juga salah satu kota suci kaum Syi'ah. Oleh
karena itu, keberadaan Khomeini di kora itu hanya mempermudah hubungannya
dengan para pengikutnya di Iran, yang memang sudah terbiasa mondar-mandir
antara Iran dan Najaf. Dari Najaf, Ayatullah Khomeini secara periodik
mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras mengenai perisriwaperistiwa yang
terjadi di negerinya. Selain terbukti efektif dalam membentuk opini publik di
Iran, tak jarang pernyataan-pernyataannya menimbulkan respons dari para
pengikutnya di dalam negeri dalam bentuk aksi-aksi penentangan terhadap rezim
yang berkuasa.
Melihat efektifnya pengaruh Ayatullah Khomeini, Syah yang berkuasa
pada waktu itu meminta penguasa Irak agar mengusir Khomeini. Dan, pada 4
Oktober 1978, Ayatullah Khomeini dipaksa keluar dari Irak. Pada mulanya, ia
ingin tinggal di Kuwait, tetapi pemerintah Kuwait dan beberapa pemerintah
negara Muslim yang lain menolak kehadirannya. Perlu diketahui bahwa pada
beberapa bulan yang mendahului pengusiran Ayatullah Khomeini tersebut, di dalam
negeri Iran telah meledak kerusuhan-kerusuhan hebat dalam bentuk penentangan
rakyat di seluruh negeri terhadap Syah Iran. Penguasa menyadari besarnya
pengaruh Ayatullah Khomeini dalam peristiwa-peristiwa itu. Dengan demikian,
tidaklah aneh jika para penguasa negeri-negeri Muslim ditekan untuk tidak
mengizinkan Ayatullah Khomeini tinggal di wilayah kekuasaannya. Ayatullah
Khomeini pun menuju Paris, yang pemerintahnya bersedia menerima kehadiran nya.
Terbukti, keberadaannya di salah satu negara Barat itu berperan besar dalam
memberi ia akses publisitas bagi aktivitas-aktivitasnya memimpin pergolakan di
dalam negeri Iran, bukan hanya bagi konsumsi pihak-pihak luar negeri Iran-yang
terbukti tak melakukan apa-apa untuk membantunya, kalau bukan malah
menentangnya-melainkan justru bagi para pengikutnya didalam negeri Iran sendiri.
Demikianlah, peristiwa-peristiwa yang mengikutinya hingga tegaknya suatu
Republik Islam di Iran sudah banyak diketahui.
Konsep
Politik
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang
benarbenar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini, menurutnya sendiri, karena
persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan
yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi'ah. Bahkan, pernyataan
itu merupakan kalimat pembuka kumpulan-ceramahnya mengenai pemerintahan Islam,
berjudul Hukumat-i Islami. Kalaupun ada yang baru, hal itu disebabkan
oleh kenyataan bahwa penggagasnya adalah seorang Muslim Syiah. Oleh karena itu,
ada baiknya di bawah ini diuraikan, secara sepintas, konsep kepemimpinan
(wilayah) di kalangan Syiah yang-secara langsung ataupun tidak melatarbelakangi
gagasan-gagasan Ayatullah Khomeini.
Sebagaimana dalam mazhab Ahl Al-Sunnah, dalam pemikiran Syi'ah,
Otoritas dan kedaulatan hanyalah hak prerogatif Allah. Baru kemudian Allah
mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Saw. Setelah berakhirnya nubuwwab,
hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amr yang menurut kepercayaan Syi'ah,
adalah para imam-berjumlah dua belas dalam Syi'ah Itsna' 'Asyariyyah. Imam
mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi Saw yang tidak berstatus nabi, tak pula
membawa syariat, namun sebagai penjelas syariat Nabi langsung dari Allah, lewat
Nabi Saw. Oleh karena itu, imam bukan hanya penguasa temporal, melainkan juga
spiritual. Mereka disebut sebagai wali/na'ib. Setelah ghaib kubm (kegaiban
panjang) Imam Ke-12, hingga ia muncul (Zhuhur) kembali pada akhir zaman, para
ulama (mujtahid) merupakan penerus rangkaian kepemimpinan umat ini. Mereka
disebut wali 'am. Sebagaimana para imam mengambil-alih seluruh peran
kepemimpinan.
Umat dari Nabi Saw, para ulama (mujtahid) mengambil-alih peran ini.
Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari Imam yakni Imam terakhir
yang sedang gaib. Bahkan, dipercayai bahwa para ulama seperti ini mendapatkan
bimbingan Imam yang sedang gbaz'b tersebut. Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan
kedudukannya dari Allahsehingga, dengan demikian, mafhum (terpelihara dari
kesalahan)-para ulama (mujtahid) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan
kualifikasi yang dimilikinya, meliputi 'a'alab (keutamaan dalam hal iman dan
akhlak yang memampukan ia menjauhkan diri dari dosa-dosa), faqahah (penguasaan
atas hukum fiqh Islam), dan kaf'ah (keterampilan kepemimpinan). Dan, tak
seperti Nabi dan para imam, mereka tidak ma'sum. (Kelak, dalam RII, mujtahid
yang berkedudukan sebagai walifaqib dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang
beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu
demokratis). Prinsipnya. karena sifat lutbf (kasih sayang)-Nya, Allah tak akan
membiarkan suatu ummat tanpa bimbingan. Dengan kata lain, Allah selalu mengirimkan
utusan pada setiap umat. Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak Nabi, imam,
hingga mujtabzd adalah suatu keniscayaan keagamaan. Di bawah mi adalah hadis
yang termasyhur di kalangan mereka, bersumber dari Imam Ja’far Al-Shadiq Imam
Keenam:
"menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang
wewenang Imam. Menentang wewenang imam berarti menentang wewenang Nabi Saw.
Menentang wewenangNabi Saw. berarti menentang wewenang Allah). Menentang
wewenang Allah, sama dengan syirik.”[11]
Kebutuhan
Akan Pemerintahan Islam
Keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk
mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat
mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada
kekuasaan eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil
keputusan atas suatu masalah). Karenanya, Allah Yang Maha Kuasa, dalam
kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis (seperti aturan-amran syariat),
telah meletakkan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh institusi eksekutif
dan administratif.
Rasul saw telah membentuk institusi eksekutif dan administratif
bagi masyarakat. Sekaitan dengan penyampaian wahyu, penjelasan, dan penafsiran
atas akidah, hukum-hukum Islam serta penegakannya, beliau melaksanakan selumh hal
yang menjadi tanggung jawabnya tersebut. Dengan cara inilah beliau membentuk
negara Islam. Beliau tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menerapkannya,
seperti memotong tangan, mencambuk, dan merajam. Setelah Rasul saw wafat, para
penerus kepemimpinan beliau juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama.
Ketika Nabi saw menunjuk seorang penerus kepemimpinan, beliau melakukannya
bukan hanya untuk menjelaskan tentang akidah dan hukum yang telah diajarkannya,
tetapi juga melakukan eksebisi berdasarkan hukum Allah SWT.[12]
Asas dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan
(syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan,
karena hukum-hukum itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan
menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan
budaya dalam masyarakat.
Pertama, hukum-hukum syariat mencakup bermacam-macam badan hukum
dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang lengkap. Pada sistem
hukum ini, semua kebutuhan manusia terpenuhi. Kebutuhan ini berupa menjalin
hubungan dengan para tetangganya, sesama warga negara, anak-anak, dan
keluarganya dan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan pernikahannya.
Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang dan damai, hubungan dengan
negara-negara lain, hukum komersial dan hukum tentang perdagangan dan
pertanian.
Hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan
persiapan pernikahan dan bagaimana melakukan ijab dalam pernikahan. Hukum ini
juga meliputi hal-hal yang berhubungan perkembangan janin dalam kandungan,
serta apa yang harus dimakan orang tua saat merencanakan kehamilan. Lebih jauh,
hukum' ini juga menetapkan kewajiban-kewajiban atas para ibu selama mereka
menyusui bayi. bagaimana mengasuh anak, dan mengatur hubungan suami-isteri
serta atas anak-anak mereka. Islam memberikan hukum-hukum dan aturan-aturan
untuk semua hal tersebut dengan tujuan untuk membentuk penganutnya menjadi
manusia seumhnya dan juga saleh serta menerapkan hukum-hukumnya dan secara
alami (tanpa pemaksaaan) melaksanakannya. Jelaslah, bagaimana besarnya
perhatian Islam akan sebuah pemerintahan dan hubungan sosial-politik dalam
masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pembentukan manusia yang tulus dan saleh.
Al-Qur'an al-Karim dan as-Sunah memuat semua hukum dan aturan yang
diperlukan manusia agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Pada kitab
al-Kafi, ada sebuah bab yang berjudul “Semua Kebutuhan Manusia Tersedia dalam
kitab dan as-Sunah". Judul tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“Kitab” adalah Al-Qur' an, yang merupakan “penjelasan atas segala sesuam”
(mengutip surah an-Nahl ayat 89). Berdasarkan riwayat Imam as, " beliau
menjelaskan bahwa semua yang diperlukan oleh manusia ada pada Al-Qur'an dan
as-Sunah dan tak ada keraguan (atas kelengkapan dan keotentikan) kedua kitab
ini.
Kedua, jika kita meneliti lebih dalam lagi tentang asas dan
karakter ketetapan hukum, kita akan menyadari bahwa eksekusi dan pelaksaannya
tergantung dari bentuk pemerintahan dan tidak mungkin untuk memenuhi
perintah-perintah Allah SWT tanpa adanya organ-organ eksekutif dan
administratif yang memadai.
Kami telah menyebutkan sebagian sumber-sumbernya (yakni sumber
hukum dan aturan yang diperlukan manusia), selebihnya silakan kalian merujuk
sumber-sumber lainnya (selain Al-Qur'an dan as-Sunnah ).[13]
Pentingnya
Persatuan Islam
Seperti yang terlihat bersama bahwa para imperialis dan tirani
telah membagi-bagi tanah milik kaum Muslim. Mereka telah memisahkan umat Islam
ke dalam golongan yang bermacam-macam dan dengan kebohongan yang mereka
ciptakan (untuk mengelabui kaum Muslim) menjadikannya bangsa-bangsa yang
terpisah, sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Daulah Utsmaniyah yang
besar. Rusia, Inggris, Austria, dan negara-negara imperialis lainnya, melalui
peperangan melawan Daulah Utsmaniyah, menduduki wilayah kekuasaan Daulah
Utsmaniyah. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin Daulah Utsmaniyah tidak cakap
dan sebagian dari mereka adalah fasid (pembuat kerusakan) serta mereka
memberlakukan sistem monarki. Walaupun demikian, keberadaan Daulah Utsmaniyah
tetap menjadi ancaman bagi para imperialis.
Selalu ada kemungkinan bahwa seorang yang adil muncul di tengah
umat yang dengan pertolongan umat tersebut akan mengendalikan negara. Ini pun
akan mengakhiri imperialisme.
Oleh karena itu, setelah peperangan pertama, para imperialis pada
akhir perang dunia ke-1 membagi-bagi wilayah kekuasaan Daulah Utsmaniyah
menjadi 10 atau 15 negara-negara kecil. Lalu tiap-tiap negara ini dikuasai
sehingga menjadi salah satu negara bawahan mereka atau masuk ke dalam kelompok
negara bawahan mereka, meskipun negara-negara tertentu kemudian dapat
melepaskan diri dari genggaman para agen imperialis ini.
Karenanya, untuk menjamin kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan
tanah Muslimin dari pendudukan dan penetrasi para imperialis dan pemerintah
boneka mereka, penting sekali bagi kita untuk menegakkan sebuah pemerintahan.
Untuk mencapai kesatuan dan kebebasan kaum Muslim, kita harus menyingkirkan
pemerintahan zalim yang dibentuk oleh para imperialis itu dan mewujudkan
pemerintahan Islam yang adil, yang akan memberikan pelayanan bagi umat manusia.
Kita harus mewujudkan bentuk pemerintahan yang akan menjaga tatanan dan kesatuan
kaum Muslim Sebagaimana kata Fatimah az-Zahra as dalam khotbah beliau, “Imamah
bertujuan untuk menjaga tatanan kaum Muslim dan mengubah perpecahan di antaa
mereka menjadi persatuan.”[14]
Bentuk
Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang
ada di antara kita saat ini. Sebagai contoh, pemerintahan Islam bukan merupakan
pemerintahan yang bersifat. tirani. di mana para pemimpin negara dengan
pemerintahan semacam itu (pemerintahan tirani) dapat bertindak sewenang-wenang
atas harta dan kehidupan masyarakat mereka, memperlakukan orang sekehendak
mereka, membunuh orang yang mereka inginkan dan memperkaya seseorang yang
mereka kehendaki dengan memberikan tanah dan harta milik orang lain.[15]
Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada
hukum-hukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur
masyarakat. Bahkan kekuasaan terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah dalam
mendelegasikannya kepada manusia) yang dimiliki oleh Nabi saww dan para pelaksana
hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugerah Allah kepada mereka. Kapan pun
Nabi menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan hukum tertentu, maka
beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah, hukum yang mana
setiap manusia tanpa kecuali harus menaati dan mengikutinya. Hukum Allah
berlaku bagi pemimpin dan yang dipimpin. Satu-satunya hukum yang sah dan berisi
perintah yang wajib untuk ditaati adalah hukum Allah.[16]
Pemerintahan
Adalah Wasilah Untuk Mencapai tujuan Mulia
Menjalankan fungsi pemerintahan, pada substansinya, tidak berkaitan
dengan martabat dan maqam; namun sebenarnya berarti menyelesaikan tugas dengan
melaksanakan hukum dan menegakkan tatanan Islam yang adil. Amirul Mukminin as
berkata kepada Ibnu Abbas, sekaitan dengan permasalahan pemerintahan, “Berapa
besar nilai sepatu ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak ada nilainya." Lalu
beliau as berkata, “Demi Allah, sungguh dia (sepatu) lebih bernilai bagiku
dibandingkan memerintah Kalian, kecuali aku tegakkan yang hak (hukum-hukum dan
tatanan Islam) dan aku lenyapkan yang batil (hukum-hukum dan tatanan yang
menindas dan terlarang). Jadi, aturan dan perintah sesungguhnya (hakikatnya)
hanyalah sebuah wasilah (alat bantu) dan jika wasilah ini tidak digunakan untuk
menebarkan kebaikan dan mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak
bernilai di mata kekasih Allah. Oleh karena itu. Amirul Mukminin as berkata
dalam khotbah beliau di dalam kitab Nahjul Balaghah, “Kalau bukan karena
orang-orang datang kepadaku dan para pendukung tidak mengajukan hujjahnya
(argumen pendukungnya), maka aku akan sudah melemparkan kekhalifahan ini dari
pundakku. Kini telah jelas, bahwa memikul fungsi pemerintahan adalah untuk
memperoleh wasilah, bukan maqam maknawi. Hal ini dikarenakan jika pemerintahan
itu dijalankan untuk memperoleh maqam maknawi, maka tak seorang pun yang dapat
merampasnya (mengambil alih) ataupun menolaknya (tidak mengakuinya).
Pemerintahan dan pemberian perintah kepada rakyat akan bernilai ketika keduanya
menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan menegakkan tatanan
Islam yang adil sehingga orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan
tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.
Sebagian manusia yang matanya telah terpesona oleh dunia menggambarkan
bahwa kepemimpinan dan pemerintahan pada hakikatnya, melambangkan martabat para
Imam, sehingga jika seseorang selain mereka menegakkan kedua hal tersebut maka
dunia ini akan hancur. Saat ini, presiden Soviet, perdana menteri Inggris, dan
presiden Amerika menegakkan kekuasaan pemerintahan di negara-negara mereka
masing-masing, sedangkan mereka semua adalah kaum kafir.
Mereka memang kaum kafir, namun mereka memiliki kekuasaan politik
dan pengaruh, yang mana dua hal ini mereka gunakan untuk melaksanakan
hukum-hukum yang andkernanusiaan dan keputusankeputusan untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Atas dasar ini, maka menjadi kewajiban
imam dan fuqaha yang adil untuk menggunakan bentuk pemerintahan dalam upaya
untuk melaksanakan hukum-hukum Allah, menegakkan tatanan Islam yang adil dan
melayani seluruh umat manusia. Pemerintahan, pada hakikatnya. melambangkan
suatu beban dan kesulitan bagi diri mereka (imam dan fuqaha), namun apa yang
harus mereka lakukan. Mereka telah diberi tugas dan misi itu untuk mereka
selesaikan. Wilayatul Faqih tidak lain hanyalah untuk melaksanakan kewajiban.[17]
Kesimpulan
Imam Khomeini berkeyakinan bahwa Islam itu bersifat politis, kalau
tidak maka agama hanyalah omong kosong belaka. Pemisahan Agama dan Politik
serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah
sosial-politik, menurut Imam khomeini merupakan bagian dari propaganda
imperialisme.
Pemikiran politik Imam Khomeini sangat di pengaruhi oleh ajaran
keyakinan yang di anutnya, yaitu Islam mazhab Syi’ah. Imam khomeini menghendaki
suatu bentuk pemerintahan Islam, dimana kekuasaannya sepenuhnya berada di
tangan fuqaha (alim-ulama), yaitu mereka yang memiliki pemahaman tentang ajaran
dan peraturan Islam, serta memiliki keutamaan dalam iman dan ahlak.
Pembentukan pemerintahan Islam merupakan suatu kebutuhan mutlak
yang tidak dapat ditawar-tawar. Namun demikian, Khoemaini melihat bahwa dunia
Islam masih mengalami kendala hebat dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan Islam
ini. Khoemeini mendiagnosa dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya
cita-cita negara Islam.
Untuk karier politik Imam Khomeini sendiri bermula pada sekitar
tahun 1963, setelah tergulingnya rezim nasional Mushaddiq pada masa itu. Dari
segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benarbenar baru
dari Ayatullah Khomeini. Hal ini, menurutnya sendiri, karena persoalan
keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera
bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi'ah.
Selanjutnya Imam Khomeini menyebutkan kebutuhan akan pemerintahan
Islam, hal ini dianggap keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah
cukup untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut
dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada
kekuasaan eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil
keputusan atas suatu masalah).
Asas dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan
(syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan,
karena hukum-hukum itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan
menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan
budaya dalam masyarakat.
Imam Khomeini mengungkapkan pentingnya persatuan Islam, hal ini
berdasarkan bahwa para imperialis dan tirani telah membagi-bagi tanah milik
kaum Muslim. Mereka telah memisahkan umat Islam ke dalam golongan yang
bermacam-macam dan dengan kebohongan yang mereka ciptakan (untuk mengelabui kaum
Muslim) menjadikannya bangsa-bangsa yang terpisah, sebagaimana yang telah
mereka lakukan kepada Daulah Utsmaniyah yang besar. Karenanya, untuk menjamin
kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan tanah Muslimin dari pendudukan dan
penetrasi para imperialis dan pemerintah boneka mereka, penting sekali untuk
menegakkan sebuah pemerintahan. Untuk mencapai kesatuan dan kebebasan kaum
muslim harus menyingkirkan pemerintahan zalim yang dibentuk oleh para
imperialis dan mewujudkan pemerintahan Islam yang adil, yang akan memberikan
pelayanan bagi umat manusia.
Imam Khomeini juga menyebutkan pemerintahan adalah wasilah untuk
mencapai tujuan mulia. Dengan menjalankan fungsi pemerintahan, pada
substansinya, tidak berkaitan dengan martabat dan maqam; namun sebenarnya berarti
menyelesaikan tugas dengan melaksanakan hukum dan menegakkan tatanan Islam yang
adil. Aturan dan perintah sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah wasilah
(alat bantu) dan jika wasilah ini tidak digunakan untuk menebarkan kebaikan dan
mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak bernilai di mata kekasih
Allah. Kini telah jelas, bahwa memikul fungsi pemerintahan adalah untuk
memperoleh wasilah, bukan maqam maknawi. Hal ini dikarenakan jika pemerintahan
itu dijalankan untuk memperoleh maqam maknawi, maka tak seorang pun yang dapat
merampasnya (mengambil alih) ataupun menolaknya (tidak mengakuinya).
Pemerintahan dan pemberian perintah kepada rakyat akan bernilai ketika keduanya
menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan menegakkan tatanan
Islam yang adil sehingga orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan
tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.
Daftar Pustaka
Sumber
Primer
Khoemeini.
Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Sumber
Sekunder
Iqbal, Muhammad, Amien Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam:
Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Anshari, Muhammad Ali. Imam Khomeini, Hidup dan Karyanya dalam
Sekilas Tentang Khomeini. Ed. Musa Kashim. Yogyakarta, Rausyan Fikr, 2001.
Yamani. Antara Al-Farabi Dan Khoemeini: Filsafat Politik Islam. Bandung:
Mizan, 2002.
Sihbudi, Riza. Biografi Politik Imam Khomeini. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sihbudi, Riza. Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuh Syah
Hingga Wafatnya Ayyatullah Khomeini. Jakarta: Putaka Hidayah, 1989.
[1] Muahammad
Ali Anshari, Imam Khomeini, Hidup dan Karyanya dalam Sekilas Tentang
Khomeini. (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2001), hal. 43.
[2] Yamani, Antara
Al-Farabi Dan Khoemeini: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
hal. 110-112.
[3] Riza
Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hal. 109.
[4] Ibid.,
[5] Ibid,
hal. 112.
[6] Riza
Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuh Syah Hingga Wafatnya Ayyatullah
Khomeini, (Jakarta: Putaka Hidayah, 1989), hal. 61-62.
[7] Muhammad
Iqbal dan Amien Husein Nasution , Pemikiran
Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 239.
[8] Ibid,
hal. 240.
[9] Ibid,
hal. 241-242.
[10] Ibid,
hal. 244.
[11] Ibid,
Yamani, Politik Islam, hal. 110-115.
[12] Imam
Khoemeini, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002),
hal. 27.
[13] Ibid,
hal. 31-32.
[14] Ibid,
hal. 39-40.
[15] Ibid,
hal. 47.
[16] Ibid,
hal. 49.
[17] Ibid,
hal. 62-63.
Do this hack to drop 2lb of fat in 8 hours
BalasHapusMore than 160 thousand men and women are using a easy and secret "liquid hack" to lose 2lbs each and every night as they sleep.
It is simple and works every time.
This is how to do it yourself:
1) Go grab a clear glass and fill it half glass
2) Proceed to learn this awesome hack
and you'll become 2lbs lighter the very next day!