Senin, 18 September 2017

TOKOH POLITIK ISLAM KONTEMPORER: IMAM KHOMEINI

TOKOH POLITIK ISLAM KONTEMPORER: IMAM KHOMEINI
oleh: Anugrah Romadhon
Abstrak
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan sosok Imam Khomeini, dia sosok pribadi yang memperoleh pendidikan agama yang sangat memadai dari berbagai cabang ilmu Islam. Imam Khomeini di samping sebagai seorang mujtahid, juga seorang pejuang dan pemikir. Ia banyak melahirkan ide-ide baik yang berkaitan dengan politik, sosial, pendidikan, keagamaan, kenegaraan, filsafat dan ilmu pengetahuan. Imam Khomeini adalah pejuang melawan rezim yang tiran dan kuat, maka sebagian besar pemikirannya dikembangkan dalam perspektif politik termasuk ketika ia mengungkapkan pemikirannya tentang persoalan keagamaan. Dalam bidang politik gagasannya yang paling menonjol adalah upayanya membentuk sistem pemerintahan theokratis dan lembaga wilayat al-faqih (pemerintahan ahli hukum Islam).
Pemikiran politik Imam Khomeini pada prinsipnya bahwa spiritual dan politik tidak terpisahkan, serta tidak terpisah dari irfan dan ahlak, sebagai simbol pemikiran politiknya Imam Khomeini, atau dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Imam Khomeini bahwa politik dan Agama tidak dapat di pisahkan, sebagaimana pula sosok Imam Khomeini, pemikiran politiknya di latar belakangi oleh mazhab Syi’ah yang telah di anutnya. Rahasia keberhasilan Imam Khomeini terletak pada pemikirannya yang terpesonifikasikan dalam sebuah sistem yang di saksikan oleh seluruh mata masyarakat dunia.
Ajaran politik Imam Khomeini jati diri manusia selain berharga dan memiliki kemuliaan, keyakinan yang kuat dan tulus akan peran rakyat, kehormatan dan kehendak manusia. Hasil dari kemuliaan dan kehormatan manusia dalam menentukan umat manusia dan sebuah masyrakat menjadikan suara rakyat mempunyai peran mendasar dalam pemikiran pilitik Imam Khomeini. Oleh karenanya, demokrasi dalam ajaran politik Imam Khomeini yang di ambil dari teks Islam adalah demokrasi yang Hakiki. Tidak seperti demokrasi yang di gembar–gemborkan oleh Negara barat yang hanya menipu dan memperdaya benak manusia.

Kata kunci: Pemikiran Politik, Pemerintahan, Imam Khoemeini



Pendahuluan
Imam Khomeini bernama lengkap Imam Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, lahir pada 20 Jumadil Akhir 1320 (24 September 1902) dan bertepatan dengan hari ulang tahun kelahiran Fatimah al-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW, di kota Khomein yang dulu disebut propinsi Kamareh, sekitar 300 km dari Teheran.[1]
Tidak ada cerita-cerita isrimewa ketika Khomeini dilahirkan, di suatu desa kecil bernama Khomein, pada 1901/1902 M, kecuali bahwa hari lahirnya bertepatan dengan ulang tahun kelahiran Fathimah binti Rasulullah, satu di antara empat belas “orang suci”  menurut kepercayaan Syiah. Keluarganya tidak saja dikenal taat beragama, bahkan ayahnya Sayyid Musthafa Musawi adalah seorang Ayatullah dan pemuka masyarakat. Lebih dari itu, sang ayah terbunuh di tangan Wali Kota Khomein ketika memprotes pemerasan dan pajak yang tidak adil, serta praktik-praktik penindasan yang dilakukan oleh aparat Dinasti Qajar di daerahnya itu. Ibunya pun adalah putri seorang ayatullah terkemuka di wilayahnya, Ayatullah Mirza Ahmad.
Karena wafatnya sang ayah dalam usia muda, ia dibesarkan dalam asuhan ibu dan bibinya, Sahiba. Baru lima belas tahun umurnya. ketika sang bibi pun meninggalkannya untuk menghadap Tuhan. Tak lama kemudian, menyusul pula ibunya wafat. Wafatnya orang-orang yang paling disayangi itu dalam usianya yang masih amat muda, tak urung memukulnya. Menurut riwayat, ia pun besar sebagai anak muda yang serius, banyak merenung, bahkan menyendiri di padang pasir di dekat tempat kediaman nya. Dengan demikian, giliran sang kakak, Pasandideh kelak juga seorang ayatullah mengasuhnya, sekaligus menjadi guru pertamanya di bidang ilmu-ilmu keislaman, khususnya di bidang Logika dan Bahasa Arab. Namun, karier pendidikan formalnya dimulai ketika ia berusia tujuh belas tahun, sewaktu pergi melanjutkan pelajarannya ke Kota Arak. Tak terlalu lama ia belajar di kota kecil ini antara lain bersama (pada waktu itu, calon) Ayatullah (Araki, salah seorang marja' taqlid dewasa ini) sebelum akhirnya berangkat ke Qum, pusat studi keislaman di Iran. Segera saja, Khomeini tampil sebagai salah seorang murid yang paling menonjol di kota itu. Di bawah bimbingan Syaikh Abdul Karim Haiti-mujtahid terkemuka pada masa itu Khomeini mempelajari fiqih. Pada saat yang sama, ia juga mempelajari Filsafat dan irfan yakni tasawuf di bawah bimbingan seorang guru yang dipandang ahli di bidang itu, Mirza Muhammad 'Ali Syahabadi. Sebelum kelak menjadi mujtahid (marja' taqlid)’, kemasyhuran Ruhullah Khomeini diperoleh dalam kedua bidang ini. Ia bahkan telah menjadi guru filsafat dan irfan sejak usia 27 tahun. Pada usianya yang amat muda ini, ia menulis pula sejumlah buku, sebagian merupakan komentar atas karya penulis klasik. Pada usia tiga puluh tahun, ia menikah dengan putri seorang agamawan terkemuka dan hingga wafatnya memiliki dua orang putra dan tiga orang putri. Putranya, Musthafa Khomeini-seorang Hujjatul Islam muda terkemuka, sekaligus tangan kanan ayahnya-wafat secara misterius, yang dipercayai sebagai akibat pembunuhan oleh agen-agen dinas rahasia Iran masa Syah (SAVAK). Sedangkan yang kedua, Ahmad Khomeini juga seorang Hujjatul Islam, yang kemudian menggantikan posisi kakaknya menjadi salah seorang tokoh berpengaruh di Republik Islam Iran (RII). Di antara putri-putrinya, Zahra Mushaiawi adalah seorang doktor dan dosen filsafat di salah satu universitas di Iran.
Hingga sebelum 1963, ketika ia memulai kegiatan penentangan politiknya terhadap rezim Pahlevi, karier keagamaannya terus menanjak dengan pesat. Kedudukan keagamaannya meningkat menjadi Ayatullah. Semakin banyak pula murid yang belajar di bawah bimbingannya. Konon, terdapat 5000-an murid sang Ayatullah yang tersebar di seluruh Iran dan menempati kedudukan dan jabatan-jabatan penting di negeri ini, termasuk di antara muridnya adalah almarhum Murtadha Muthahhari, Sayyid 'Ali Khamene'i, Hashemi Rafsanjani, Husein 'Ali Muntazhiri, Musa Shadrpendiri gerakan 'Amal di Lebanon.[2]


Pemikiran Politik Imam Khomeini
Imam Khomeini berkeyakinan bahwa Islam itu bersifat politis, kalau tidak maka agama hanyalah “omong kosong” belaka. Menurut beliau “al-Quran” memuat, seratus lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dari pada soal–soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis, barang kali hanya ada tiga atau empat yang membahas soal soal sembahyang atau kewajiban manusia terhada Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya ada sangkut-pautnya dengan masyarakat, ekonomi, hukum, politik dan negara. Jangan sekali-kali mengatakan bahwa islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan mahluk–Nya.[3]
Pemisahan Agama dan Politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah–masalah sosial–politik, menurut Imam khomeini, merupakan bagian dari propaganda imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial-politik, mereka ini, oleh Imam Khomeini, di nilai sebagai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang di delegasikan padda mereka yang oleh para imam. Namun, yang lebih buruk, menurut Imam Khomeini, adalah para “ulama istana“(ulama of the caurt akhund-ha-yidarbari, yaitu mereka yang berdampingan dengan syah dan menerima jabatan di bawah rezim Syah). Para ulama seperti itulah adalah “ musuh Islam”.[4]
Konsep pemisahan agama dan Negara, menurut Imam Khomeini,” di jejalkan ke dalam otak kaum muslim oleh agen-agen kolonialisme untuk mencegah perjuangan kaum muslim meraih kemerdekaan dan kebebasan. Kolonialis ingin mencegah kaum muslim dari industrialisasi dan ingin meneruskan ketergantungan kaum muslim pada indutri mereka.[5]
Di awal decade 1960 an, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mendeklarasikan pertentangan nya terhadap rezim Reza Syah pahlevi dan menuntuk kemerdekaan bangsa iran dari bangsa-bangsa imperialis. Imam Khomeini menyerukan kepada rakyat agar menolak segala bentuk kezaliman dan kesewenang wenangan. Bangsa iran menyambut seruan ini dan pada bulan juni 1963 mereka bangkit dan menyerukan penggulingan rezim monarki dalam menghadapi demonstrasi rezim Syah melakukan tindakan yang represif, Para pejuang di bantai dan para ulama di asingkan.
Di tangan Khomeini-lah Islam Syi’ah menjadi menjadi suatu kekuatan revolusioner pada abad ke 20. Tidak hanya itu, beliau juga telah menggugurkan tesis dari Marx, di mana Beliau ( Marx ) mengatakan agama itu candu. Sedangkan di tangan Imam Khomeini, Agama tidak dapat di pisahkan dengan urusan–urusan duniawi, seperti sosoal, politik, budaya dan ekonomi. Beliau menolak tegas jika Islam di samakan dengan marxisme. Islam berlandaskan pada Keesaan Tuhan, jadi merupakan anti-tesis dari Marxisme.
Pemikiran politik Imam Khomeini sangat di pengaruhi oleh ajaran keyakinan yang di anutnya, yaitu islam mazhab Syi’ah. Dua hal yang hampir tak dapat di pisahkan dari revolusi Islam Iran adalah Imam Khomeini dan Syi’ah. Mengapa? Pertama, Syi’ah merupakan mazhab yang di anut mayoritas penduduk Iran. Di Iran, Syi’ah mempunyai akar historis yang sangat kuat. Negara Syi’ah yang pertama juga lahir di iran, yaitu ketika dinasti Safavid (1501-1722) menjadikan Islam mazhab Syiah sebagai agama resmi negara persia. Kedua, Syi’ah barang kali menjadi satu-satunya mazhab dalam islam yang secara tegas menolak pemisahan agama dan politik, baik secara segi praktek maupun secara konseptual. Syi’ah memang lahir karena sebab politik. Istilah syiah yang dalam bahasa Arab berarti partai - berasal dari Syi’atu Ali, partai atau faksi Ali yaitu yang mendukung Ali bin Abi Thalib sebagai calon untuk jabatan politik, setelah Nabi Saw wafat.
Pemerintahan politik Imam Khomeini tentang Wilayat Al-Faqih (pemerintahan kaum ulama) yang menjadi bagian terpenting dalam sistem Republik Islam Iran, tidak bisa di lepaskan dari Doktrin Imamah tersebut. Bahwa selama satu darsawarsa terakhir iran berupaya mentranformasikan pemikiran politik Imam Khomeini, hal itu bisa di anggap sebagai semacam ekseperimen. Dalam suatu eksperimen, modifikasi yang menuju ke arah perbaikan yang tentu tak dapat dihindarkan.
Imam khomeini menghendaki suatu bentuk pemerintahan islam, dimana kekuasaannya sepenuhnya berada di tangan fuqaha (alim-ulama), yaitu mereka yang memiliki pemahaman tentang ajaran dan peraturan islam, serta memiliki keutamaandalam iman dan ahlak, gagasan beliau yang di kenal sebagai Wilayat Al-Faqih ( pemerintahan para fuqaha ). Sudah di kemukakan secara konsisten sejak meletusnya revolusi iran. Gagasan tersebut antara lain:[6]
1.      Para alim-ulama yang berhak menjadi penguasa dalam sebuah negara islam, adalah lelaki yang memiliki kecerdasan dan kepandaian yang luas sehingga mampu menggerahkan potensi masyarakat.
2.      Seorang fuqaha berfungsi sebagai pewaris Nabi, oleh kerenanya mempuyai tugas dan kewajiban untuk mempergunakan angkatan bersenjada dan aparat politik, demi pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran bangsa.
3.      Membentuk pemerintahan atau negara islam, hukumnya wajib bagi setiap umat islam, khususnya para alim-ulama dimanapun mereka berada, karena itu merupakan bagian utama dari aqidah Immamiyah
4.      Negara atau pemerintahan islam diperlukan demi tegaknya hukum-hukum Islam, karena hukum apaun tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya suatu kekuasaan eksekutif.
5.      Di dalam Negara Islam, para wakil rakyat tidak dapat berhak membuat undang-undang, karena undang - undang atau dasar hukum (Islam) di peroleh langsung dari Tuhan, yaitu Al-Quran dan Hadis.
Gagasan kenegaraan Imam Khoemeini lebih ekspresif tertuang dalam kitabnnya Hukumat-i-Islam (pemerintahan Islam). Dalam buku ini, setidaknya ada tiga masalah penting yang dibahas Khomeini, yaitu kebutuhan terhadap pembentukan institusi politik Islam, wilayah al-faqih atau pemerintahan ulama, dan program kerja yang disusun Imam Khoemeini untuk membentuk sebuah negara. Menurut Khoemeini, Islam adalah agama yang dinamis, membela keadilan menegakan kebenaran dan membebaskan manusia dari kesewenang-wenangan dan penindasan. Imam Khoemaini mengingatkan kewaspadaan umat Islam dari propaganda pihak-pihak yang memusuhi Islam, yang menyatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik dan pemerintahan. Ia menegaskan penyatuan agama dan politik. Menurutnya siapa saja yang mengklaim bahwa pembentukan negara Islam tidak perlu untuk dilaksanakan, maka secara implisit ia telah menolak perlunya pelaksanaan hukum-hukum Islam, pemberlakuan secara umum hukum-hukumnya dan kebenaran abadi dari Islam itu sendiri.[7]
Pembentukan pemerintahan Islam merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Namun demikian, Khoemaini melihat bahwa dunia Islam masih mengalami kendala hebat dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan Islam ini. Khoemeini mendiagnosa dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya cita-cita negara Islam.
Pertama, pengaruh imperialisme bangsa-bangsa barat terhadap dunia Islam. Menurut Khoemeini imperialisme barat tidak hanya menguasai dan menjarah kekayaan alam dunia Islam dan memecah belah umat Islam saja, tetapi juga telah merusak tatanan sosial politik kemasyarakatan umat Islam. Menurut Khomeini, kaum imperialisme Barat menyebarluaskan pandangan diantara umat Islam bahwa Islam tidak memiliki bentuk pemerintahan khusus dan institusi pemerintahan. Kalaupun ada hukum-hukum tertentu dalam Islam, ia tetap tidak memiliki metode yang dapat menjadikan penganutnya untuk menjalankan hukum-hukum tersebut, sehingga fungsinya semata-mata hanya legislatif.[8]
Bangsa-bangsa barat mengampanyekan bahwa Islam tidak memiliki ajaran yang bersifat kenegaraan dan kemasyarakatan. Islam tidak memiliki pemerintahan khusus dan hanya mengatur masalah haid dan nifas, Islam dalam kampanye bangsa-bangsa Barat, tidak memiliki gagasan untuk diterapkan di dalam kehidupan manusia secara umum dan pengaturan atas masyarakat. Propaganda dan kampanye sesat ini termakan oleh sebagian umat Islam. Mereka ikut pula mengembangkan pemikiran pemisahan agama dan negara. sebagian pemikir Muslim ada yang ikut-ikutan  mengembangkan gagasan tidak adanya pemerintahan dalam Islam. mereka mengaggap bahwa Islam hanya agama yang mengatur masalah ibadah, dan untuk sosial kemasyarakatan serta kenegaraan umat Islam tidak ada salahnya meniru barat.
Khoemaini mengungkapkan tipu daya kaum imperialisme Barat bahwa mereka tidak menginginkan umat Islam untuk menjadi sebenar-benarnya manusia, karena mereka takut pada manusia yang sebenarnya. Meski hanya seorang manusia yang sebenarnya yang muncul, mereka tidak akan membiarkannya, karena yang lain akan mengikuti manusia tersebut. Manusia sebenarnya inilah yang akan berjuang menghancurkan seluruh fondasi tirani, imperialisme, dan pemerintahan boneka Barat. Mereka akan akan membunuh manusia yang berjuang melawan imperialisme Barat tersebut. Mereka mempropagandakan bahwa manusia sebenarnya itu adalah ulama politik. Tidak layak bagi ulama melakukan kegiatan politik. Propaganda ini dilakukan untuk menjatuhkan umat Islam. dari politi, mencegah umat Islam ikut campur tangan dalam urusan masyarakat dan berjuang melawan pemerintahan yang curang. Mereka anti Islam dan ingin mewujudkan keinginan mereka tanpa ada seorang pun yang akan datang menghalangi dan mencegah mereka.
Kedua pemerintahan yang tidak Islami. Setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib, penguasa-penguasa Muslim telah mengubah pemerintahan Islami yang demokratis menjadi monarki yang kekuasaan dialihkan secara turun temurun. Ini berlangsung sampai saat sekarang. Bagi Khomeini, pemerintahan secara tidak Islami adalah sistem kufur dan penguasanya  disebut thaghut. Khomeini sendiri mengalami pemerintahan Shah Iran Reza Pahlevi yang tirani dan thaghut tersebut. Ironisnya kekuasaan non-Islami ini didukung penuh oleh negara-negara Barat. Mereka berkepentingan terhadap penguasa-penguasa thaghut di Dunia Islam karena memberi keuntungan materi maupun non-materi kepada mereka. Dengan mendukung negara-negara yang dipimpin oleh thaghut ini bangsa-bangsa Barat dapat mengeruk dan menguras habis kekayaan yang ada di negara-negara Muslim. Mereka menjadikan negara-negara Muslim yang dipimpin oleh diktator tersebut sebagai boneka. Akhirnya negara-negara Muslim tersebut memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada bangsa-bangsa Barat. Tidak jarang penguasa di negara Muslim melakukan tekanan terhadap rakyatnya sendiri dibawah dukungan penuh negara-negara Barat. Akhirnya terjadilah kerusakan dan kehancuran terhadap rakyatnya sendiri di bawah penuh dukungan negara-negara Barat. Akhirnya terjadilah kerusakan dan kehancuran dan kehancuran di negara Muslim. Khoemaini mengecam bagaimana pemerintahan Shah RezA Pahlevi telah membawa kerusakan di muka bumi. Karrena itu bagi Khoemaini, tidak ada pilihan kecuali menghancurkan kekuasaan sewenang-wenang thaghut tersebut sehingga hilanglah kerusakan yang ada.[9]
Propaganda bangsa Barat dan dukungan mereka terhadap pemerintahan yang tirani negara-negara Muslim menjadi penyebab umat Islam tidak dapat menegakan pemerintahan Islam. kedua hal ini saling mendukung dalm menghambat pembentukan pemerintahan Islam, karena akan merugikan kepentingan mereka. Oleh sebab itu untuk mejamin kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan tanah Muslimin dari pendudukan dan penetrasi bangsa-bangsa imperialis Barat serta untuk mengenyahkan pemerintahan boneka Barat yang sewenag-wenang terhadap umat Islam, Khoemaini menegaskan pentingnya sebuah perjuangan pemerintahan Islam yang adil.
Khomaini menekankan pentingnya ulama mengambil alih peran ini. Ulama sangat penting sekali mengambil peran ini dan berjuang melawan pengkhianat dan agen-agen Imperialisme asing agar masyarakat hidup sejahtera dan tidak membiarkan masyarakat dalam keadaan kelaparan, menderita, dan kehilangan sumber-sumber kekayaan dari negara Muslim dan hidup bermewah-mewahan. Ulama inilah yang dimaksud dengan manusia sebenarnya. Ulama tidak boleh berdiam diri melihat keadaan yang seperti ini. Seorang ulama harus menggerakan masyarakat untuk merebut hak-hak mereka yang trlah diambil oleh para pengkhianat dan membebaskan mereka dari penjajahan Barat serta kesewang-wenangan pemerintahan boneka Barat.
Menurut Imam Khoemeini, ada beberapa karakteristik pemerintahan Islam. Pertama, tidak bersifat tirani, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang bertindak sewenang-wenang atas masyarakatnya. Kedua, berbasis hukum. Kedaulatan hanyalah milik Allah dan hukum adalah keputusan dan pemerintahan-Nya. Ketiga, hakikat pemerintahan Islam, sejalan dengan prinsip kedua, adalah ketaatan kepada hukum.[10]


Karier Politik
Keprihatinan sosial sudah sejak dini menonjol dalam diri Khomeini muda. Bahkan pada 1941, ketika masih berusia 39 tahun, sebuah bukunya yang berjudul Kasfy Al-Asrar (Pengungkapan Rahasia-Rahasia) telah diterbitkan. Khomeini, yang pada waktu itu baru bergelar Hujjatul Islam, secara blakblakan menuding Reza Syah sebagai budak Inggris, tiran, koruptor, dan penguasa anti-Islam. Meskipun demikian, karier politik Ruhullah Al-Khomeini bermula pada sekitar tahun 1963, setelah tergulingnya rezim nasional Mushaddiq pada masa itu.  
Syah Iran, yang didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Iran oleh CIA. terbukti tak kalah bersifat diktator dibandingkan ayahnya. Berbagai “kebijaksanaan" yang dikeluarkan hanya membuktikan dirinya sebagai penguasa yang korup dan anti-Islam. Sejak Maret 1963, Ayatullah Khomeini menguvapkan pidato-pidato dan mengeluarkan pernyataa-pernyataan yang mengecam Syah secara terbuka.
Pada tahun itu juga. Ayatullah Khomeini ditangkap oleh polisi dan tentara rahasia Syah setelah selesai menyampaikan salah satu pidatonya di madrasah yang dipimpinnya di Kata Qum. Sejumlah korban berjatuhan dalam peristiwa ini. Ayatullah Khomeini dibawa ke Teheran dan ditahan di Penjara Qasr di keta itu. Keesokan harinya, para pendukungnya turun ke jalan-jalan. menuntut pembebasan pemimpin mereka. Di beberapa kora juga dilancarkan pemogokan-pemogokan. Pasukan keamanan berupaya meredakan kerusuhan tersebut dengan kekerasan. Dilaporkan, korban yang tewas mencapai 15.000 orang di Teheran dan sekitar 400 di Qum.
Akibat tekanan rakyat, kurang dari setahun setelah penangkapan, Ayatullah Khomeini dibebaskan dari tahanan. Namun, sebaliknya dari mengurangi kecaman-kecamannya, Ayatullah Khomeini justru semakin memperhebat serangannya kepada rezim yang berkuasa. Ia pun kembali dijebloskan ke penjara, yang disusul dengan pengasingannya ke Bursa di Turki, bermula pada November 1964. Hampir setahun berada di negeri itu, tempat pengasingannya berpindah ke Najaf, Irak. Seperti diketahui, Najaf adalah juga salah satu kota suci kaum Syi'ah. Oleh karena itu, keberadaan Khomeini di kora itu hanya mempermudah hubungannya dengan para pengikutnya di Iran, yang memang sudah terbiasa mondar-mandir antara Iran dan Najaf. Dari Najaf, Ayatullah Khomeini secara periodik mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras mengenai perisriwaperistiwa yang terjadi di negerinya. Selain terbukti efektif dalam membentuk opini publik di Iran, tak jarang pernyataan-pernyataannya menimbulkan respons dari para pengikutnya di dalam negeri dalam bentuk aksi-aksi penentangan terhadap rezim yang berkuasa.
Melihat efektifnya pengaruh Ayatullah Khomeini, Syah yang berkuasa pada waktu itu meminta penguasa Irak agar mengusir Khomeini. Dan, pada 4 Oktober 1978, Ayatullah Khomeini dipaksa keluar dari Irak. Pada mulanya, ia ingin tinggal di Kuwait, tetapi pemerintah Kuwait dan beberapa pemerintah negara Muslim yang lain menolak kehadirannya. Perlu diketahui bahwa pada beberapa bulan yang mendahului pengusiran Ayatullah Khomeini tersebut, di dalam negeri Iran telah meledak kerusuhan-kerusuhan hebat dalam bentuk penentangan rakyat di seluruh negeri terhadap Syah Iran. Penguasa menyadari besarnya pengaruh Ayatullah Khomeini dalam peristiwa-peristiwa itu. Dengan demikian, tidaklah aneh jika para penguasa negeri-negeri Muslim ditekan untuk tidak mengizinkan Ayatullah Khomeini tinggal di wilayah kekuasaannya. Ayatullah Khomeini pun menuju Paris, yang pemerintahnya bersedia menerima kehadiran nya. Terbukti, keberadaannya di salah satu negara Barat itu berperan besar dalam memberi ia akses publisitas bagi aktivitas-aktivitasnya memimpin pergolakan di dalam negeri Iran, bukan hanya bagi konsumsi pihak-pihak luar negeri Iran-yang terbukti tak melakukan apa-apa untuk membantunya, kalau bukan malah menentangnya-melainkan justru bagi para pengikutnya didalam negeri Iran sendiri. Demikianlah, peristiwa-peristiwa yang mengikutinya hingga tegaknya suatu Republik Islam di Iran sudah banyak diketahui.


Konsep Politik
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benarbenar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini, menurutnya sendiri, karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi'ah. Bahkan, pernyataan itu merupakan kalimat pembuka kumpulan-ceramahnya mengenai pemerintahan Islam, berjudul Hukumat-i Islami. Kalaupun ada yang baru, hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa penggagasnya adalah seorang Muslim Syiah. Oleh karena itu, ada baiknya di bawah ini diuraikan, secara sepintas, konsep kepemimpinan (wilayah) di kalangan Syiah yang-secara langsung ataupun tidak melatarbelakangi gagasan-gagasan Ayatullah Khomeini.
Sebagaimana dalam mazhab Ahl Al-Sunnah, dalam pemikiran Syi'ah, Otoritas dan kedaulatan hanyalah hak prerogatif Allah. Baru kemudian Allah mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Saw. Setelah berakhirnya nubuwwab, hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amr yang menurut kepercayaan Syi'ah, adalah para imam-berjumlah dua belas dalam Syi'ah Itsna' 'Asyariyyah. Imam mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi Saw yang tidak berstatus nabi, tak pula membawa syariat, namun sebagai penjelas syariat Nabi langsung dari Allah, lewat Nabi Saw. Oleh karena itu, imam bukan hanya penguasa temporal, melainkan juga spiritual. Mereka disebut sebagai wali/na'ib. Setelah ghaib kubm (kegaiban panjang) Imam Ke-12, hingga ia muncul (Zhuhur) kembali pada akhir zaman, para ulama (mujtahid) merupakan penerus rangkaian kepemimpinan umat ini. Mereka disebut wali 'am. Sebagaimana para imam mengambil-alih seluruh peran kepemimpinan.
Umat dari Nabi Saw, para ulama (mujtahid) mengambil-alih peran ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari Imam yakni Imam terakhir yang sedang gaib. Bahkan, dipercayai bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan Imam yang sedang gbaz'b tersebut. Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan kedudukannya dari Allahsehingga, dengan demikian, mafhum (terpelihara dari kesalahan)-para ulama (mujtahid) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya, meliputi 'a'alab (keutamaan dalam hal iman dan akhlak yang memampukan ia menjauhkan diri dari dosa-dosa), faqahah (penguasaan atas hukum fiqh Islam), dan kaf'ah (keterampilan kepemimpinan). Dan, tak seperti Nabi dan para imam, mereka tidak ma'sum. (Kelak, dalam RII, mujtahid yang berkedudukan sebagai walifaqib dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu demokratis). Prinsipnya. karena sifat lutbf (kasih sayang)-Nya, Allah tak akan membiarkan suatu ummat tanpa bimbingan. Dengan kata lain, Allah selalu mengirimkan utusan pada setiap umat. Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak Nabi, imam, hingga mujtabzd adalah suatu keniscayaan keagamaan. Di bawah mi adalah hadis yang termasyhur di kalangan mereka, bersumber dari Imam Ja’far Al-Shadiq Imam Keenam:
"menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang imam berarti menentang wewenang Nabi Saw. Menentang wewenangNabi Saw. berarti menentang wewenang Allah). Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik.”[11]


Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam
Keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil keputusan atas suatu masalah). Karenanya, Allah Yang Maha Kuasa, dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis (seperti aturan-amran syariat), telah meletakkan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh institusi eksekutif dan administratif.
Rasul saw telah membentuk institusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat. Sekaitan dengan penyampaian wahyu, penjelasan, dan penafsiran atas akidah, hukum-hukum Islam serta penegakannya, beliau melaksanakan selumh hal yang menjadi tanggung jawabnya tersebut. Dengan cara inilah beliau membentuk negara Islam. Beliau tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menerapkannya, seperti memotong tangan, mencambuk, dan merajam. Setelah Rasul saw wafat, para penerus kepemimpinan beliau juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama. Ketika Nabi saw menunjuk seorang penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan hanya untuk menjelaskan tentang akidah dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksebisi berdasarkan hukum Allah SWT.[12] 
Asas dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan, karena hukum-hukum itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.
Pertama, hukum-hukum syariat mencakup bermacam-macam badan hukum dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang lengkap. Pada sistem hukum ini, semua kebutuhan manusia terpenuhi. Kebutuhan ini berupa menjalin hubungan dengan para tetangganya, sesama warga negara, anak-anak, dan keluarganya dan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan pernikahannya. Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang dan damai, hubungan dengan negara-negara lain, hukum komersial dan hukum tentang perdagangan dan pertanian.
Hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan persiapan pernikahan dan bagaimana melakukan ijab dalam pernikahan. Hukum ini juga meliputi hal-hal yang berhubungan perkembangan janin dalam kandungan, serta apa yang harus dimakan orang tua saat merencanakan kehamilan. Lebih jauh, hukum' ini juga menetapkan kewajiban-kewajiban atas para ibu selama mereka menyusui bayi. bagaimana mengasuh anak, dan mengatur hubungan suami-isteri serta atas anak-anak mereka. Islam memberikan hukum-hukum dan aturan-aturan untuk semua hal tersebut dengan tujuan untuk membentuk penganutnya menjadi manusia seumhnya dan juga saleh serta menerapkan hukum-hukumnya dan secara alami (tanpa pemaksaaan) melaksanakannya. Jelaslah, bagaimana besarnya perhatian Islam akan sebuah pemerintahan dan hubungan sosial-politik dalam masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembentukan manusia yang tulus dan saleh.
Al-Qur'an al-Karim dan as-Sunah memuat semua hukum dan aturan yang diperlukan manusia agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Pada kitab al-Kafi, ada sebuah bab yang berjudul “Semua Kebutuhan Manusia Tersedia dalam kitab dan as-Sunah". Judul tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kitab” adalah Al-Qur' an, yang merupakan “penjelasan atas segala sesuam” (mengutip surah an-Nahl ayat 89). Berdasarkan riwayat Imam as, " beliau menjelaskan bahwa semua yang diperlukan oleh manusia ada pada Al-Qur'an dan as-Sunah dan tak ada keraguan (atas kelengkapan dan keotentikan) kedua kitab ini.
Kedua, jika kita meneliti lebih dalam lagi tentang asas dan karakter ketetapan hukum, kita akan menyadari bahwa eksekusi dan pelaksaannya tergantung dari bentuk pemerintahan dan tidak mungkin untuk memenuhi perintah-perintah Allah SWT tanpa adanya organ-organ eksekutif dan administratif yang memadai.
Kami telah menyebutkan sebagian sumber-sumbernya (yakni sumber hukum dan aturan yang diperlukan manusia), selebihnya silakan kalian merujuk sumber-sumber lainnya (selain Al-Qur'an dan as-Sunnah ).[13]                    


Pentingnya Persatuan Islam
Seperti yang terlihat bersama bahwa para imperialis dan tirani telah membagi-bagi tanah milik kaum Muslim. Mereka telah memisahkan umat Islam ke dalam golongan yang bermacam-macam dan dengan kebohongan yang mereka ciptakan (untuk mengelabui kaum Muslim) menjadikannya bangsa-bangsa yang terpisah, sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Daulah Utsmaniyah yang besar. Rusia, Inggris, Austria, dan negara-negara imperialis lainnya, melalui peperangan melawan Daulah Utsmaniyah, menduduki wilayah kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin Daulah Utsmaniyah tidak cakap dan sebagian dari mereka adalah fasid (pembuat kerusakan) serta mereka memberlakukan sistem monarki. Walaupun demikian, keberadaan Daulah Utsmaniyah tetap menjadi ancaman bagi para imperialis.
Selalu ada kemungkinan bahwa seorang yang adil muncul di tengah umat yang dengan pertolongan umat tersebut akan mengendalikan negara. Ini pun akan mengakhiri imperialisme.
Oleh karena itu, setelah peperangan pertama, para imperialis pada akhir perang dunia ke-1 membagi-bagi wilayah kekuasaan Daulah Utsmaniyah menjadi 10 atau 15 negara-negara kecil. Lalu tiap-tiap negara ini dikuasai sehingga menjadi salah satu negara bawahan mereka atau masuk ke dalam kelompok negara bawahan mereka, meskipun negara-negara tertentu kemudian dapat melepaskan diri dari genggaman para agen imperialis ini.
Karenanya, untuk menjamin kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan tanah Muslimin dari pendudukan dan penetrasi para imperialis dan pemerintah boneka mereka, penting sekali bagi kita untuk menegakkan sebuah pemerintahan. Untuk mencapai kesatuan dan kebebasan kaum Muslim, kita harus menyingkirkan pemerintahan zalim yang dibentuk oleh para imperialis itu dan mewujudkan pemerintahan Islam yang adil, yang akan memberikan pelayanan bagi umat manusia. Kita harus mewujudkan bentuk pemerintahan yang akan menjaga tatanan dan kesatuan kaum Muslim Sebagaimana kata Fatimah az-Zahra as dalam khotbah beliau, “Imamah bertujuan untuk menjaga tatanan kaum Muslim dan mengubah perpecahan di antaa mereka menjadi persatuan.”[14]


Bentuk Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada di antara kita saat ini. Sebagai contoh, pemerintahan Islam bukan merupakan pemerintahan yang bersifat. tirani. di mana para pemimpin negara dengan pemerintahan semacam itu (pemerintahan tirani) dapat bertindak sewenang-wenang atas harta dan kehidupan masyarakat mereka, memperlakukan orang sekehendak mereka, membunuh orang yang mereka inginkan dan memperkaya seseorang yang mereka kehendaki dengan memberikan tanah dan harta milik orang lain.[15]
Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-hukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. Bahkan kekuasaan terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah dalam mendelegasikannya kepada manusia) yang dimiliki oleh Nabi saww dan para pelaksana hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugerah Allah kepada mereka. Kapan pun Nabi menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan hukum tertentu, maka beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah, hukum yang mana setiap manusia tanpa kecuali harus menaati dan mengikutinya. Hukum Allah berlaku bagi pemimpin dan yang dipimpin. Satu-satunya hukum yang sah dan berisi perintah yang wajib untuk ditaati adalah hukum Allah.[16]


Pemerintahan Adalah Wasilah Untuk Mencapai tujuan Mulia
Menjalankan fungsi pemerintahan, pada substansinya, tidak berkaitan dengan martabat dan maqam; namun sebenarnya berarti menyelesaikan tugas dengan melaksanakan hukum dan menegakkan tatanan Islam yang adil. Amirul Mukminin as berkata kepada Ibnu Abbas, sekaitan dengan permasalahan pemerintahan, “Berapa besar nilai sepatu ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak ada nilainya." Lalu beliau as berkata, “Demi Allah, sungguh dia (sepatu) lebih bernilai bagiku dibandingkan memerintah Kalian, kecuali aku tegakkan yang hak (hukum-hukum dan tatanan Islam) dan aku lenyapkan yang batil (hukum-hukum dan tatanan yang menindas dan terlarang). Jadi, aturan dan perintah sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah wasilah (alat bantu) dan jika wasilah ini tidak digunakan untuk menebarkan kebaikan dan mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak bernilai di mata kekasih Allah. Oleh karena itu. Amirul Mukminin as berkata dalam khotbah beliau di dalam kitab Nahjul Balaghah, “Kalau bukan karena orang-orang datang kepadaku dan para pendukung tidak mengajukan hujjahnya (argumen pendukungnya), maka aku akan sudah melemparkan kekhalifahan ini dari pundakku. Kini telah jelas, bahwa memikul fungsi pemerintahan adalah untuk memperoleh wasilah, bukan maqam maknawi. Hal ini dikarenakan jika pemerintahan itu dijalankan untuk memperoleh maqam maknawi, maka tak seorang pun yang dapat merampasnya (mengambil alih) ataupun menolaknya (tidak mengakuinya). Pemerintahan dan pemberian perintah kepada rakyat akan bernilai ketika keduanya menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan menegakkan tatanan Islam yang adil sehingga orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.
Sebagian manusia yang matanya telah terpesona oleh dunia menggambarkan bahwa kepemimpinan dan pemerintahan pada hakikatnya, melambangkan martabat para Imam, sehingga jika seseorang selain mereka menegakkan kedua hal tersebut maka dunia ini akan hancur. Saat ini, presiden Soviet, perdana menteri Inggris, dan presiden Amerika menegakkan kekuasaan pemerintahan di negara-negara mereka masing-masing, sedangkan mereka semua adalah kaum kafir.
Mereka memang kaum kafir, namun mereka memiliki kekuasaan politik dan pengaruh, yang mana dua hal ini mereka gunakan untuk melaksanakan hukum-hukum yang andkernanusiaan dan keputusankeputusan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Atas dasar ini, maka menjadi kewajiban imam dan fuqaha yang adil untuk menggunakan bentuk pemerintahan dalam upaya untuk melaksanakan hukum-hukum Allah, menegakkan tatanan Islam yang adil dan melayani seluruh umat manusia. Pemerintahan, pada hakikatnya. melambangkan suatu beban dan kesulitan bagi diri mereka (imam dan fuqaha), namun apa yang harus mereka lakukan. Mereka telah diberi tugas dan misi itu untuk mereka selesaikan. Wilayatul Faqih tidak lain hanyalah untuk melaksanakan kewajiban.[17]



Kesimpulan
Imam Khomeini berkeyakinan bahwa Islam itu bersifat politis, kalau tidak maka agama hanyalah omong kosong belaka. Pemisahan Agama dan Politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah sosial-politik, menurut Imam khomeini merupakan bagian dari propaganda imperialisme.
Pemikiran politik Imam Khomeini sangat di pengaruhi oleh ajaran keyakinan yang di anutnya, yaitu Islam mazhab Syi’ah. Imam khomeini menghendaki suatu bentuk pemerintahan Islam, dimana kekuasaannya sepenuhnya berada di tangan fuqaha (alim-ulama), yaitu mereka yang memiliki pemahaman tentang ajaran dan peraturan Islam, serta memiliki keutamaan dalam iman dan ahlak.
Pembentukan pemerintahan Islam merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Namun demikian, Khoemaini melihat bahwa dunia Islam masih mengalami kendala hebat dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan Islam ini. Khoemeini mendiagnosa dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya cita-cita negara Islam.
Untuk karier politik Imam Khomeini sendiri bermula pada sekitar tahun 1963, setelah tergulingnya rezim nasional Mushaddiq pada masa itu. Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benarbenar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini, menurutnya sendiri, karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi'ah.
Selanjutnya Imam Khomeini menyebutkan kebutuhan akan pemerintahan Islam, hal ini dianggap keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil keputusan atas suatu masalah).
Asas dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan, karena hukum-hukum itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.
Imam Khomeini mengungkapkan pentingnya persatuan Islam, hal ini berdasarkan bahwa para imperialis dan tirani telah membagi-bagi tanah milik kaum Muslim. Mereka telah memisahkan umat Islam ke dalam golongan yang bermacam-macam dan dengan kebohongan yang mereka ciptakan (untuk mengelabui kaum Muslim) menjadikannya bangsa-bangsa yang terpisah, sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Daulah Utsmaniyah yang besar. Karenanya, untuk menjamin kesatuan umat Islam dan untuk membebaskan tanah Muslimin dari pendudukan dan penetrasi para imperialis dan pemerintah boneka mereka, penting sekali untuk menegakkan sebuah pemerintahan. Untuk mencapai kesatuan dan kebebasan kaum muslim harus menyingkirkan pemerintahan zalim yang dibentuk oleh para imperialis dan mewujudkan pemerintahan Islam yang adil, yang akan memberikan pelayanan bagi umat manusia.
Imam Khomeini juga menyebutkan pemerintahan adalah wasilah untuk mencapai tujuan mulia. Dengan menjalankan fungsi pemerintahan, pada substansinya, tidak berkaitan dengan martabat dan maqam; namun sebenarnya berarti menyelesaikan tugas dengan melaksanakan hukum dan menegakkan tatanan Islam yang adil. Aturan dan perintah sesungguhnya (hakikatnya) hanyalah sebuah wasilah (alat bantu) dan jika wasilah ini tidak digunakan untuk menebarkan kebaikan dan mencapai tujuan mulia, maka ia akan menjadi tidak bernilai di mata kekasih Allah. Kini telah jelas, bahwa memikul fungsi pemerintahan adalah untuk memperoleh wasilah, bukan maqam maknawi. Hal ini dikarenakan jika pemerintahan itu dijalankan untuk memperoleh maqam maknawi, maka tak seorang pun yang dapat merampasnya (mengambil alih) ataupun menolaknya (tidak mengakuinya). Pemerintahan dan pemberian perintah kepada rakyat akan bernilai ketika keduanya menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan menegakkan tatanan Islam yang adil sehingga orang-orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh nilai tambah dan maqam yang mulia.








Daftar Pustaka
Sumber Primer
Khoemeini. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

Sumber Sekunder
Iqbal, Muhammad, Amien Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Anshari, Muhammad Ali. Imam Khomeini, Hidup dan Karyanya dalam Sekilas Tentang Khomeini. Ed. Musa Kashim. Yogyakarta, Rausyan Fikr, 2001.
Yamani. Antara Al-Farabi Dan Khoemeini: Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Sihbudi, Riza. Biografi Politik Imam Khomeini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sihbudi, Riza. Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuh Syah Hingga Wafatnya Ayyatullah Khomeini. Jakarta: Putaka Hidayah, 1989.




[1] Muahammad Ali Anshari, Imam Khomeini, Hidup dan Karyanya dalam Sekilas Tentang Khomeini. (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2001), hal. 43.
[2] Yamani, Antara Al-Farabi Dan Khoemeini: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 110-112.
[3] Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 109.
[4] Ibid.,
[5] Ibid, hal. 112.

[6] Riza Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran: Dari Jatuh Syah Hingga Wafatnya Ayyatullah Khomeini, (Jakarta: Putaka Hidayah, 1989), hal. 61-62.
[7] Muhammad Iqbal dan Amien Husein Nasution , Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 239.
[8] Ibid, hal. 240.
[9] Ibid, hal. 241-242.
[10] Ibid, hal. 244.
[11] Ibid, Yamani, Politik Islam, hal. 110-115.
[12] Imam Khoemeini, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hal. 27.
[13] Ibid, hal. 31-32.
[14] Ibid, hal. 39-40.
[15] Ibid, hal. 47.
[16] Ibid, hal. 49.
[17] Ibid, hal. 62-63.

1 komentar:

  1. Do this hack to drop 2lb of fat in 8 hours

    More than 160 thousand men and women are using a easy and secret "liquid hack" to lose 2lbs each and every night as they sleep.

    It is simple and works every time.

    This is how to do it yourself:

    1) Go grab a clear glass and fill it half glass

    2) Proceed to learn this awesome hack

    and you'll become 2lbs lighter the very next day!

    BalasHapus