Politik Islam di Mekkah Pra Hijrah ke Madinah
Nama : Anugrah Romadhon
NIM :
1113015000100
Daftar bacaan :
Nayla Putri dkk, Sirah Nabawiyah, (Bandung: CV. Pustka
Islamika, 2008)
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1992)
Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Syaikh Syafiurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,
(Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007)
Haekal Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, (Jakarta:
Tintamas Indonesia, 1992)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005)
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah,
2010)
Pendahuluan
Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keluarga bani Hasyim di Mekah
pada hari senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun dari Peristiwa
Gajah. Maka tahun itu dikenal dengan Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena
pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan
menunggang gajah menyerang Kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan
April tahun 571 M. Ini berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman
Al-manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Pasha.[1]
Nabi Muhammad SAW adalah anggota bani Hasyim, suatu kabilah yang
kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi
Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama
Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar
pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Muhammad SAW.
Nabi terakhir ini dilahirkan dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia
tiga bulan setelah dia menikahi Aminah.[2]
Tidak lama setelah kelahirannya, bayi Muhammad SAW diserahkan
kepada Tsuwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui
Hamzah. Meskipun diasuh olehnya hanya beberapa hari, nabi tetep menyimpan rasa
kekeluargaan yang mendalam dan selalu menghormatinya. Nabi SAW selanjutnya
dipercayakan kepada Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Bayi
tersebut diasuhnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan tumbuh menjadi
anak yang sehat dan kekar. Pada usia lima tahun, nabi dikembalikan Halimah
kepada tanggungjawab ibunya. Sejumlah hadis menceritakan bahwa kehidupan
Halimah dan keluarganya banyak dianugrahi nasib baik terus-menerus ketika
Muhammad SAW kecil hidup di bawah asuhannya. Halimah menyayangi baginda Rasul
seperti menyayangi anak sendiri, penuh kasih sayang dan cinta, namun karena
banyak kejadian yang luar biasa sehingga takut akan terjadi hal-hal yang tidak
baik sehingga dikembalikanlah Rasul SAW kepada keluarga beliau.
Muhammad SAW kira-kira berusia enam tahun, dimana tatkala asik
bermain-main dengan teman-teman beliau, teman-teman beliau gembira saat
ayah-ayah mereka pulang, namun Rasulullah pulang dengan tangisan menemui ibunda
beliau, seraya berkata wahai ibunda mana ayah? ibunda beliau terharu tampa
jawaban yang pasti, sehingga dalam ketidakmampuan atas jawaban tersebut, hingga
suatu ketika ibunda beliau mengajak baginda Nabi SAW pergi kekota tempat ayah
beliau dimakamkan. Sekembalinya dari pencarian Makan suami tercinta ibu Rasul
tercinta jatuh sakit dan meninggal dalam perjalanan pulang, dengan duka cita
yang mendalam dan pulang bersama seorang pembantu nabi. Sekembalinya pulang
sebagai anak yatim piatu maka beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib.
Namun dua tahun kemudian, kakeknya pun yang berumur 82 tahun, juga meninggal
dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi ada di bawah tanggungjawab
pamannya Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun, seperti kebanyakan anak muda seumurnya, nabi
memelihara kambing di Mekkah dan menggembalakan di bukit dan lembah sekitarnya.
Pekerjaan menggembala sekawanan domba ini cocok bagi perangai orang yang
bijaksana dan perenung seperti Muhammad SAW muda, ketika beliau memperhatikan
segerombolan domba, perhatiannya akan tergerak oleh tanda-tanda kekuatan gaib
yang tersebar di sekelilingnya.
Diriwayatkan bahwa ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW
menyertai pamannya, Abu Thalib, dalam berdagang menuju Suriah, tempat kemudian
beliau berjumpa dengan seorang pendeta, yang dalam berbagai riwayat disebutkan
bernama Bahira. Meskipun beliau merupakan satu-satunya nabi dalam sejarah yang
kisah hidupnya dikenal luas, masa-masa awal kehidupan Muhammad SAW tidak banyak
diketahui.[3]
Muhammad SAW besar bersama kehidupan suku Quraisy Mekah, dan
hari-hari yang dilaluinya penuh dengan pengalaman yang sangat berharga. Dengan
kelembutan, kehalusan budi dan kejujuran beliau maka orang Quraisy Mekkah
memberi gelar kepada beliau dengan Al-Amin yang artinya orang yang dapat
dipercaya.
Pada usia 30 tahunan, Muhammad SAW sebagai tanda kecerdasan dan
bijaksanya beliau, Nabi SAW mampu mendamaikan perselisihan kecil yang muncul di
tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan renovasi Ka’bah. Mereka
mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan posisi Hajar Aswad di
Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan teknik dan strategi yang
sangat adil dan melegakan hati mereka.[4]
Kondisi
Politik
Para penguasa jazirah tatakala terbitnya matahari Islam, bisa
dibagi menjadi dua bagian:
a.
Raja-raja yang
mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri
sendiri.
b.
Para pemimpin
dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa
seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di anatar mereka memiliki kebebasan
tersendiri. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka subkordinasi layaknya
seorang raja yang mengenakan mahkota.[5]
Pada masyarakat Arab pra Islam sudah banyak ditemukan tata cara
pengaturan dalam aktivitas kehidupan sosial yang dapat dibagi pada beberapa
sistem-sistem yang ada di masyarakat, salah satunya adalah sistem politik
“balas dendam”.[6]
Setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap turut mempengaruhi
kondisi politik jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab dengan dua adi kuasa
saat itu, yaitu kekaisaran Byzantium dan Persia serta persaingan antara yahudi,
beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut Zoroaster.[7]
Dalam masyarakat Arab terdapat organisasi klan (kabilah) sebagai
intinya dan anggota dari satu klan merupakan geneologi (pertalian darah).
Pemerintah di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, menurut para ahli sejarah
dimulai oleh golongan Arab Ba'idah.[8] Pada
periode pertama dikenal ada kerajaan Aad di daerah Ahkaf al Romel yang terletak
antara Oman dan Yaman, kaum Aad juga pernah mendirikan kerajaan antara Makkah
dan Yastrib. Kemudian juga dikenal kerajaan dari kaum Tsamud mendiami daerah
hijir dan wadi al-Kurro, antara Hijaz dan Syiria. Kemudian dikenal juga
kerajaan dari kaum Amaliqah di Arab Timur, Oman Hijaz mereka juga ke Mesir dan
Syiria. Pada periode Kedua yaitu pada masa Arab Aribah atau Bani Qhathan yang
terkenal dengan kerajaan Madiniyah, kerajaan Sabaiyah dan kerajaan Himyariah.[9]
Bagian dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh
bangsa lain adalah Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Mekkah, kota
suci tempat ka'bah. Ka'bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi
oleh penganut-penganut bangsa asli Makkah, tetapi juga orang-orang Yahudi yang
bermukim di sekitarnya.[10]
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota Makkah diadakan
pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa yaitu
suku Jurhum dan Ismail sebagai pemegang kekuasaan ka'bah. Kekuasaan politik
kemudian berpindah ke suku Khuza'ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah
pimpinan Qushai. Suku Quraisy ini kemudian yang memegang dan mengatur politik
dan juga urusan urusan yang berkenaan dengan ka'abah. Ada sepuluh (10) jabatan
tinggi yang dibagikan kepada kabilah dari suku Quraisy yaitu : Hijabah (penjara
kunci ka’bah), Siqayah (penjara air mata Zam zam), Diyat (Kekuasaan hakim sipil
dan criminal), Sifarah (kuasa usaha Negara atau duta), Liwa (jabatan
ketentaraan), Rifadah (pengurus pajak bagi fakir miskin), Nadwah (jabatan ketua
dewan), Khaimman (pengurus balai musyawarah), Khazinah (jabatan administrasi
keuangan), Azlim (penjaga panah peramal) untuk mengetahui pendapat para dewa-dewa.[11]
Beberapa kilometer di Utara Mekkah, pada tanggal 17 ramadhan 611 M,
Di Gua Hira malaikat Jibril muncul di hadapan Nabi Muhammad untuk menyampaikan
wahyu Allah yang pertama. Pada usia Nabi yang menjelang 40 tahun itu Allah
telah memilih Muhammad sebagai Nabi. Pada wahyu kedua Nabi di perintahkan untuk
menyeru manusia kepada satu agama.[12]
Fanatisme bangsa quraisy terhadap agama nenek moyang telah membuat
Islam sulit berkembang di Mekkah walaupun Nabi Muhammad sendiri berasal dari
suku yang sama. Secara umum pada periode Mekkah, kebijakan dakwa yang dilakukan Nabi Muhammad
adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya bukan kenabiannya. Implikasinya,
dakwa dengan stategi politik yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam
menyelesaikan berbagai persoalan social (egalitarisme) lebih tepat di
bandingkan oleh aspek kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.[13] Ada
dua cara dakwa Rasulullah SAW, yaitu:
1.)
Dakwa Secara
Diam-Diam
Dengan turunnya perintah itu mulailah Rasulullah berdakwah.
Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam- diam di lingkungan sendiri dan
di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang pertama kali yang menerima
dakwanya adalah keluarga dan sahabat. Seorang demi seorang diajak agar mau
meninggalkan agama berhala dan hanya mau menyembah Allah yang Maha Esa. Usaha
yang dilakukan itu berhasil. Orang-orang yang mula-mula beriman adalah:
a)
Istri beliau
sendiri, Khadijah
b)
Kalangan
pemuda, Ali Ibn Abi Thalib dan Zaid Ibn Harits.
c)
Dari kalangan
budak, Bilal.
d)
Orang tua/tokoh
masyarakat, Abu Bakar Al-Shiddiq.[14]
Setelah Abu bakar masuk Islam, banyak orang-orang yang mengikuti
untuk masuk agama Islam. Orang-orang ini tekenal dengan julukan Al-Sabiqun
al-Awwalun, orang yang terdahulu masuk islam, seperti: Utsman Ibn Affan, Zubair
Ibn awwam, Talhah Ibn Ubaidillah, Fatimah binti khathab, Arqam Ibn Abd.
Al-Arqam, dan lain-lain. Mereka itu mendapat agama Islam langsung dari
Rasulullah sendiri.[15]
2.)
Dakwa Secara
Terbuka
Setelah beberapa lama berdakwa secara individual turunlah perintah
agar Nabi menjalankan dakwa secara terbuka dan langkah berikutnya ialah
berdakwa secara umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada
islam secara terang-terangan. Setelah dakwa terang-teranggan itu, pemimpin
quraisy mulai berusaha menghalangi dakwa Rasul. Semakin bertambahnya jumlah
pengingkut Nabi semakin keras tantangan yang di lancarkan kaum quraisy. Menurut
Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang-orang quraisy menentang
seruan Islam ialah:
a.
Mereka tidak
dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan.
b.
Nabi muhammmad
menyeruh kepada hak bangsawan dengan hambah sahaya.
c.
Para quraisy
tidak dapat menerima ajara tentang kebangkita kembali dan pembalasan di akhirat
d.
Taklid kepada
nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa arab
e.
Pemhat dan
penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin quraisy untuk mencegah
dakwa Nabi Muhammad dari cara diplomatik di sertai bujuk rayu hingga tindakan
kekerasan di lancarkan untuk menghentikan dakwa Nabi. Namun Nabi Muhammad tetap
pada pendirian untuk menyiarkan agama islam.[16]
Peta
Politik Masa Nabi Saw Menjadi Rasul
Alangkah besarnya perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab
selama lima belas tahun setelah pembebasan kota Mekkah. Meskipun pada awal Nabi
masih di Mekkah dalam kancah politik dan ekonomi umat Islam di boikot oleh kaum
Quraisy. Hijrah Rasullullah Saw, menjadi tanda berdirinya Dar Al-Islam pertama
dimuka bumi. Disamping itu, hijrah juga menjadi maklumat bagi umat manusia
bahwa daulah Islamiyah telah berdiri dibawah kepemimpinan langsung baginda
Rasulullah Saw.
Oleh sebab itulah tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah Saw.
adalah meletakkan dasar-dasar paling utama bagi negara baru ini. Dasar-dasar
tersebut lalu mengejawantah dalam tiga tindakan utama yang diambil Rasulullah
Saw sebagai berikut:
Pertama, Pembangunan Masjid.
Tidak mengherankan, karena pendirian masjid merupakan tindakan terpenting dalam
proses pembangunan masyarakat Islam . sebab maysrakat Islam yang kuat harus
berpegang pada aturan akidah dan prinsip-prinsip moral Islam, yang kesemua itu
berhulu pada potensi spiritual masjid.[17]
Kedua, mengikat tali
persaudaraan antarmuslim, khususnya antara Muhajirin dan Anshar. Negara manapun
yang ada di muka bumi tidak mungkin akan berdiri tegak kecuali di atas
persatuan dan kesatuan warganya.
Persatuan dan kesatuan itu tidakk akan terwujud jika tidak ada ikatan
talu persaudaraan dan rasa kasih saying yng sangat kuat.
Rasulullah Saw, menjadikan nilai persaudaraan yang beliau sematkan
dikalangan muhajirin dan anshar sebagai landasan bagi penerapan prinsip-prinsip
keadilan sosial, untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat yang diakui sebagai
salah satu masyarakat yang paling teratur yang pernah ada dimuka bumi.
Ketiga, menyusun undang-undang dasar yang mengatur kehidupan umat
Islam, sekaligus mempertegas hubungan mereka dengan non Muslim, khususnya
dengan kelompok Yahudi. Piagam madinah mengandung beberapa poin penting yang
berhubungan dengan berbagai hukum dan aturan bagi sebuah masyarakat Islam, berikut
ringkasannya:
a.
Tampaknya,
satu-satunya istilah modern yang paling dekat untuk mendefinisikan piagam
madinah adalah undang-undang (dustur). Sebab, piagam madinah menyerupai undang.
Isi piagam ini mencakup hampir semua elemen yang biasanya terkandung didalam
undang-undang modern.
b.
Piagam Madinah
mencerminkan keadilan dan di representasikan sikap rasulullah saw terhadap kaum
yahudi. Sebenarnya piagam madinah dapat membuahkan hasil yang manis bagi kedua
pihak, muslimin dan yahudi, andaikata kaum yahudi berhenti melakukan kebiasaan
lamanya berbuat makar, konspirasi, dan tipu muslihat.
c.
Piagam Madinah
menunjukkan beberapa aspek hukum yang terdapat didalam ajaran Islam antara
lain: Pertama; klausul pertama Piagam Madinah membutikan bahwa Islam adalah
satu-satunya “alat” yang dapat menyatukan umat Islam. Kedua, klausul kedua dan
ketiga menunjukkan bahwa salah satu faktor terpenting dalam terbentuknya
masyarakat Islam adalah penanaman makna persatuan dan gotong royong dengan
sebaik-baiknya. Ketiga, klausul ketujuh Piagam Madinah menunjukkan arti
sesungguhnya dari prinsip kesetaraan antar sesama muslim. Keempat, klausul
kedua belas piagam madinah menunjukka kepada kita bahwa hukum yang adil
merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk menyelesaikan pertikaian,
perselisihan dan berbagai perkara yang terjadi diantara mereka.[18]
[1] Nayla
Putri dkk, Sirah Nabawiyah, (Bandung: CV. Pustka Islamika, 2008), h.71.
[2]
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1992), h. 14.
[3] Philip
K. Hitti, History Of The Arabs, diterjemahkan R. Cecep Lukman Yasin,
Karya (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 140.
[4] Ajid
Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW, (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), h. 62.
[5] Syaikh
Syafiurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2007), h. 9.
[6] Dewan
Redaksi, Insklopedia, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 238
[7] Haekal
Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad,(Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1992), h. 13.
[8] Syaikh
Syaifu-rrohman, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007) .h. 9
[9] Ibid, h.
10-13.
[10] Ibidi,
h. 20.
[11] Haekal
Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad,(Jakarta: Tintamas
Indonesia, 1992), h. 31.
[12] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 9.
[13] Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2004), h. 12-13
[14] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 19.
[15] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam
(Jakarta: Amzah, 2010), h. 66.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 20-21.
[17] Al-Buty,
Fikih Sirah, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 222.
[18] Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar