Jumat, 03 Februari 2017

Politik Islam di Mekkah Pra Hijrah ke Madinah

Politik Islam di Mekkah Pra Hijrah ke Madinah
Nama               : Anugrah Romadhon
NIM                : 1113015000100
Daftar bacaan  :
Nayla Putri dkk, Sirah Nabawiyah, (Bandung: CV. Pustka Islamika, 2008)
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992)
Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Syaikh Syafiurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007)
Haekal Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010)

Pendahuluan
Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keluarga bani Hasyim di Mekah pada hari senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun dari Peristiwa Gajah. Maka tahun itu dikenal dengan Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerang Kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.  Bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Ini berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Pasha.[1]

Nabi Muhammad SAW adalah anggota bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Muhammad SAW. Nabi terakhir ini dilahirkan dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah.[2]
Tidak lama setelah kelahirannya, bayi Muhammad SAW diserahkan kepada Tsuwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui Hamzah. Meskipun diasuh olehnya hanya beberapa hari, nabi tetep menyimpan rasa kekeluargaan yang mendalam dan selalu menghormatinya. Nabi SAW selanjutnya dipercayakan kepada Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Bayi tersebut diasuhnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan kekar. Pada usia lima tahun, nabi dikembalikan Halimah kepada tanggungjawab ibunya. Sejumlah hadis menceritakan bahwa kehidupan Halimah dan keluarganya banyak dianugrahi nasib baik terus-menerus ketika Muhammad SAW kecil hidup di bawah asuhannya. Halimah menyayangi baginda Rasul seperti menyayangi anak sendiri, penuh kasih sayang dan cinta, namun karena banyak kejadian yang luar biasa sehingga takut akan terjadi hal-hal yang tidak baik sehingga dikembalikanlah Rasul SAW kepada keluarga beliau.
Muhammad SAW kira-kira berusia enam tahun, dimana tatkala asik bermain-main dengan teman-teman beliau, teman-teman beliau gembira saat ayah-ayah mereka pulang, namun Rasulullah pulang dengan tangisan menemui ibunda beliau, seraya berkata wahai ibunda mana ayah? ibunda beliau terharu tampa jawaban yang pasti, sehingga dalam ketidakmampuan atas jawaban tersebut, hingga suatu ketika ibunda beliau mengajak baginda Nabi SAW pergi kekota tempat ayah beliau dimakamkan. Sekembalinya dari pencarian Makan suami tercinta ibu Rasul tercinta jatuh sakit dan meninggal dalam perjalanan pulang, dengan duka cita yang mendalam dan pulang bersama seorang pembantu nabi. Sekembalinya pulang sebagai anak yatim piatu maka beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Namun dua tahun kemudian, kakeknya pun yang berumur 82 tahun, juga meninggal dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi ada di bawah tanggungjawab pamannya Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun, seperti kebanyakan anak muda seumurnya, nabi memelihara kambing di Mekkah dan menggembalakan di bukit dan lembah sekitarnya. Pekerjaan menggembala sekawanan domba ini cocok bagi perangai orang yang bijaksana dan perenung seperti Muhammad SAW muda, ketika beliau memperhatikan segerombolan domba, perhatiannya akan tergerak oleh tanda-tanda kekuatan gaib yang tersebar di sekelilingnya.
Diriwayatkan bahwa ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW menyertai pamannya, Abu Thalib, dalam berdagang menuju Suriah, tempat kemudian beliau berjumpa dengan seorang pendeta, yang dalam berbagai riwayat disebutkan bernama Bahira. Meskipun beliau merupakan satu-satunya nabi dalam sejarah yang kisah hidupnya dikenal luas, masa-masa awal kehidupan Muhammad SAW tidak banyak diketahui.[3]
Muhammad SAW besar bersama kehidupan suku Quraisy Mekah, dan hari-hari yang dilaluinya penuh dengan pengalaman yang sangat berharga. Dengan kelembutan, kehalusan budi dan kejujuran beliau maka orang Quraisy Mekkah memberi gelar kepada beliau dengan Al-Amin yang artinya orang yang dapat dipercaya.
Pada usia 30 tahunan, Muhammad SAW sebagai tanda kecerdasan dan bijaksanya beliau, Nabi SAW mampu mendamaikan perselisihan kecil yang muncul di tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan renovasi Ka’bah. Mereka mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan posisi Hajar Aswad di Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan teknik dan strategi yang sangat adil dan melegakan hati mereka.[4]

Kondisi Politik
Para penguasa jazirah tatakala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua bagian:
a.       Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri. 
b.      Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di anatar mereka memiliki kebebasan tersendiri. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka subkordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.[5]
Pada masyarakat Arab pra Islam sudah banyak ditemukan tata cara pengaturan dalam aktivitas kehidupan sosial yang dapat dibagi pada beberapa sistem-sistem yang ada di masyarakat, salah satunya adalah sistem politik “balas dendam”.[6]
Setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap turut mempengaruhi kondisi politik jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab dengan dua adi kuasa saat itu, yaitu kekaisaran Byzantium dan Persia serta persaingan antara yahudi, beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut Zoroaster.[7]
Dalam masyarakat Arab terdapat organisasi klan (kabilah) sebagai intinya dan anggota dari satu klan merupakan geneologi (pertalian darah). Pemerintah di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, menurut para ahli sejarah dimulai oleh golongan Arab Ba'idah.[8] Pada periode pertama dikenal ada kerajaan Aad di daerah Ahkaf al Romel yang terletak antara Oman dan Yaman, kaum Aad juga pernah mendirikan kerajaan antara Makkah dan Yastrib. Kemudian juga dikenal kerajaan dari kaum Tsamud mendiami daerah hijir dan wadi al-Kurro, antara Hijaz dan Syiria. Kemudian dikenal juga kerajaan dari kaum Amaliqah di Arab Timur, Oman Hijaz mereka juga ke Mesir dan Syiria. Pada periode Kedua yaitu pada masa Arab Aribah atau Bani Qhathan yang terkenal dengan kerajaan Madiniyah, kerajaan Sabaiyah dan kerajaan Himyariah.[9]
Bagian dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain adalah Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Mekkah, kota suci tempat ka'bah. Ka'bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut bangsa asli Makkah, tetapi juga orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.[10]
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota Makkah diadakan pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa yaitu suku Jurhum dan Ismail sebagai pemegang kekuasaan ka'bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza'ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku Quraisy ini kemudian yang memegang dan mengatur politik dan juga urusan urusan yang berkenaan dengan ka'abah. Ada sepuluh (10) jabatan tinggi yang dibagikan kepada kabilah dari suku Quraisy yaitu : Hijabah (penjara kunci ka’bah), Siqayah (penjara air mata Zam zam), Diyat (Kekuasaan hakim sipil dan criminal), Sifarah (kuasa usaha Negara atau duta), Liwa (jabatan ketentaraan), Rifadah (pengurus pajak bagi fakir miskin), Nadwah (jabatan ketua dewan), Khaimman (pengurus balai musyawarah), Khazinah (jabatan administrasi keuangan), Azlim (penjaga panah peramal) untuk mengetahui pendapat para dewa-dewa.[11]
Beberapa kilometer di Utara Mekkah, pada tanggal 17 ramadhan 611 M, Di Gua Hira malaikat Jibril muncul di hadapan Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu Allah yang pertama. Pada usia Nabi yang menjelang 40 tahun itu Allah telah memilih Muhammad sebagai Nabi. Pada wahyu kedua Nabi di perintahkan untuk menyeru manusia kepada satu agama.[12]

Fanatisme bangsa quraisy terhadap agama nenek moyang telah membuat Islam sulit berkembang di Mekkah walaupun Nabi Muhammad sendiri berasal dari suku yang sama. Secara umum pada periode Mekkah,  kebijakan dakwa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya bukan kenabiannya. Implikasinya, dakwa dengan stategi politik yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan social (egalitarisme) lebih tepat di bandingkan oleh aspek kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.[13] Ada dua cara dakwa Rasulullah SAW, yaitu:
1.)    Dakwa Secara Diam-Diam
Dengan turunnya perintah itu mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam- diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang pertama kali yang menerima dakwanya adalah keluarga dan sahabat. Seorang demi seorang diajak agar mau meninggalkan agama berhala dan hanya mau menyembah Allah yang Maha Esa. Usaha yang dilakukan itu berhasil. Orang-orang yang mula-mula beriman adalah:
a)      Istri beliau sendiri, Khadijah
b)      Kalangan pemuda, Ali Ibn Abi Thalib dan Zaid Ibn Harits.
c)      Dari kalangan budak, Bilal.
d)     Orang tua/tokoh masyarakat, Abu Bakar Al-Shiddiq.[14]
Setelah Abu bakar masuk Islam, banyak orang-orang yang mengikuti untuk masuk agama Islam. Orang-orang ini tekenal dengan julukan Al-Sabiqun al-Awwalun, orang yang terdahulu masuk islam, seperti: Utsman Ibn Affan, Zubair Ibn awwam, Talhah Ibn Ubaidillah, Fatimah binti khathab, Arqam Ibn Abd. Al-Arqam, dan lain-lain. Mereka itu mendapat agama Islam langsung dari Rasulullah sendiri.[15]
2.)    Dakwa Secara Terbuka
Setelah beberapa lama berdakwa secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwa secara terbuka dan langkah berikutnya ialah berdakwa secara umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada islam secara terang-terangan. Setelah dakwa terang-teranggan itu, pemimpin quraisy mulai berusaha menghalangi dakwa Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengingkut Nabi semakin keras tantangan yang di lancarkan kaum quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang-orang quraisy menentang seruan Islam ialah:
a.       Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan.
b.      Nabi muhammmad menyeruh kepada hak bangsawan dengan hambah sahaya.
c.       Para quraisy tidak dapat menerima ajara tentang kebangkita kembali dan pembalasan di akhirat
d.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa arab
e.       Pemhat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin quraisy untuk mencegah dakwa Nabi Muhammad dari cara diplomatik di sertai bujuk rayu hingga tindakan kekerasan di lancarkan untuk menghentikan dakwa Nabi. Namun Nabi Muhammad tetap pada pendirian untuk menyiarkan agama islam.[16]


Peta Politik Masa Nabi Saw Menjadi Rasul
Alangkah besarnya perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab selama lima belas tahun setelah pembebasan kota Mekkah. Meskipun pada awal Nabi masih di Mekkah dalam kancah politik dan ekonomi umat Islam di boikot oleh kaum Quraisy. Hijrah Rasullullah Saw, menjadi tanda berdirinya Dar Al-Islam pertama dimuka bumi. Disamping itu, hijrah juga menjadi maklumat bagi umat manusia bahwa daulah Islamiyah telah berdiri dibawah kepemimpinan langsung baginda Rasulullah Saw.
Oleh sebab itulah tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah meletakkan dasar-dasar paling utama bagi negara baru ini. Dasar-dasar tersebut lalu mengejawantah dalam tiga tindakan utama yang diambil Rasulullah Saw sebagai berikut:
 Pertama, Pembangunan Masjid. Tidak mengherankan, karena pendirian masjid merupakan tindakan terpenting dalam proses pembangunan masyarakat Islam . sebab maysrakat Islam yang kuat harus berpegang pada aturan akidah dan prinsip-prinsip moral Islam, yang kesemua itu berhulu pada potensi spiritual masjid.[17]
 Kedua, mengikat tali persaudaraan antarmuslim, khususnya antara Muhajirin dan Anshar. Negara manapun yang ada di muka bumi tidak mungkin akan berdiri tegak kecuali di atas persatuan dan kesatuan warganya.  Persatuan dan kesatuan itu tidakk akan terwujud jika tidak ada ikatan talu persaudaraan dan rasa kasih saying yng sangat kuat.
Rasulullah Saw, menjadikan nilai persaudaraan yang beliau sematkan dikalangan muhajirin dan anshar sebagai landasan bagi penerapan prinsip-prinsip keadilan sosial, untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat yang diakui sebagai salah satu masyarakat yang paling teratur yang pernah ada dimuka bumi.
Ketiga, menyusun undang-undang dasar yang mengatur kehidupan umat Islam, sekaligus mempertegas hubungan mereka dengan non Muslim, khususnya dengan kelompok Yahudi. Piagam madinah mengandung beberapa poin penting yang berhubungan dengan berbagai hukum dan aturan bagi sebuah masyarakat Islam, berikut ringkasannya:
a.       Tampaknya, satu-satunya istilah modern yang paling dekat untuk mendefinisikan piagam madinah adalah undang-undang (dustur). Sebab, piagam madinah menyerupai undang. Isi piagam ini mencakup hampir semua elemen yang biasanya terkandung didalam undang-undang modern.
b.      Piagam Madinah mencerminkan keadilan dan di representasikan sikap rasulullah saw terhadap kaum yahudi. Sebenarnya piagam madinah dapat membuahkan hasil yang manis bagi kedua pihak, muslimin dan yahudi, andaikata kaum yahudi berhenti melakukan kebiasaan lamanya berbuat makar, konspirasi, dan tipu muslihat.
c.       Piagam Madinah menunjukkan beberapa aspek hukum yang terdapat didalam ajaran Islam antara lain: Pertama; klausul pertama Piagam Madinah membutikan bahwa Islam adalah satu-satunya “alat” yang dapat menyatukan umat Islam. Kedua, klausul kedua dan ketiga menunjukkan bahwa salah satu faktor terpenting dalam terbentuknya masyarakat Islam adalah penanaman makna persatuan dan gotong royong dengan sebaik-baiknya. Ketiga, klausul ketujuh Piagam Madinah menunjukkan arti sesungguhnya dari prinsip kesetaraan antar sesama muslim. Keempat, klausul kedua belas piagam madinah menunjukka kepada kita bahwa hukum yang adil merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk menyelesaikan pertikaian, perselisihan dan berbagai perkara yang terjadi diantara mereka.[18]




[1] Nayla Putri dkk, Sirah Nabawiyah, (Bandung: CV. Pustka Islamika, 2008), h.71.
[2] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992), h. 14.
[3] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, diterjemahkan R. Cecep Lukman Yasin, Karya (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 140.
[4] Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 62.
[5] Syaikh Syafiurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007), h. 9.
[6] Dewan Redaksi, Insklopedia, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 238
[7] Haekal Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad,(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992), h. 13.
[8] Syaikh Syaifu-rrohman, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007) .h. 9
[9] Ibid, h. 10-13.
[10] Ibidi, h. 20.
[11] Haekal Muhammad Husain, Sejarah Hidup Nabi Muhammad,(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1992), h. 31.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 9.
[13] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 12-13
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 19.
[15]  Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), h. 66.
[16]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 20-21.
[17] Al-Buty, Fikih Sirah, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 222.
[18] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar