ARTIKEL ILMIAH
ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Siti Sarah Nurhikmah
D.1910063
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Djuanda Bogor
2020
Pendahuluan
Etos kerja menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja. Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan
pada tumbuhnya budaya dan etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk memberikan pengertian dan pemahaman yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka me-mahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.Islam,
di antara agama-agama yang ada di dunia, adalah satu-satunya agama yang
menjunjung tinggi nilai kerja. Ketika masyarakat dunia pada umum-nya
menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam
menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin.
Sebagai manusia biasa mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam
menganut nilai persamaan di antara sesama manusia di hadapan manusia. Ukuran
ketinggian derajat adalah ketakwaannya kepada Allah, yang diukur dengan iman
dan amal salehnya.
Dalam
suasana kehidupan yang sulit dewasa ini, umat Islam ditantang untuk bisa survive,
dan membangun kembali tatanan kehidupannya–moral, ekonomi, sosial, politik
dan sebagainya, untuk membuktikan, bahwa rekomendasi Allah kepada umat Islam
sebagai khaira ummah (umat terbaik) tidak salah alamat. Dalam makalah
ini, penulis ingin menampilkan salah satu kajian yang dianggap penting untuk
didiskusikan bersama, yaitu tentang bagaimana sebenar-nya etos kerja dalam
perspektif Islam? Pertanyaan dan kajian ini penting karena ada sebagian
kalangan dan analis berpendapat bahwa etos kerja umat Islam lemah dibandingkan
negara-negara non-Muslim lainnya.
Pengertian
Etos Kerja
Pengertian
kamus bagi perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ethos)
yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya, pengertian etos ialah
karakteristik dan sikap, kebiasaan serta ke-percayaan, dan seterusnya, yang
bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dari
perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada
makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau
suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Juga dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa
khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan
bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.
Secara
sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat.
Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu.
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri
sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat.
Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan
dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat. Weber
mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah
laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a
person, group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai
doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang
sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku
kerja mereka.
Adapun
indikasi-indikasi orang atau sekelompok masyarakat yang beretos kerja tinggi,
menurut Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, ada tiga belas sikap
yang menandai hal itu:
1.
Efisien
2.
Rajin
3.
Teratur
4.
Disiplin atau tepat waktu
5.
Hemat
6.
Jujur dan teliti
7.
Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan
8.
Bersedia menerima perubahan
9.
Gesit dalam memanfaatkan kesempatan
10.
Energik
11.
Ketulusan dan percaya diri
12.
Mampu bekerja sama
13.
mempunyai visi yang jauh ke depan.
Menurut
Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri berkenaan dengan
orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara lain;
1.
Etos kerja dan disiplin pribadi
2.
Kesadaran terhadap hierarki dan ketaatan
3.
Penghargaan pada keahlian
4.
Hubungan keluarga yang kuat
5.
Hemat dan hidup sederhana
6.
Kesediaan menyesuaikan diri.
Beberapa
indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan dari
pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup menggambarkan
segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri,
diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan
dalam aktivitas kerja.
Etos
Kerja dalam Kajian Budaya dan Agama
Masalah
etos kerja memang cukup rumit. Nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat
menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkan dari yang lemah
ke arah yang lebih kuat atau lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak
seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat
saja.
Salah
satu teori yang relevan untuk dicermati adalah bahwa etos kerja terkait dengan
sistem kepercayaan yang diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu –
dengan sistem kepercayaan tertentu – memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih
buruk) dari masyarakat lain – dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang
paling terkenal ialah pengamatan seorang sosiolog, Max Weber, terhadap
masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat menjadi dasar
apa yang terkenal dengan “Etika Protestan”.
Para
peneliti lain – mengikuti cara pandang Weber – juga melihat gejala yang sama
pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang berbeda,
seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert N. Bellah), Santri di Jawa
(oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), Jainisme dan Kaum
Farsi di India, kaum Bazari di Iran, dan seorang peneliti mengamati hal yang
serupa untuk kaum Isma‟ili di Afrika Timur, dan sebagainya. Semua tesis
tersebut bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama
bertitik tolak dari keimanan atau budaya mereka masing-masing.
Kesan
bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi tertentu, juga
merupakan hasil pengamatan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu yang etos
kerjanya menjadi baik setelah mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti
umumnya negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan
peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat perkembangan
ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong
laju perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi
seperti sekarang. Pada dekade tahun 80-an, di kalangan cendekiawan Muslim
Indonesia pun tumbuh minat yang cukup besar untuk membuktikan kebenaran tesis
Weber di atas. Bahkan pada waktu itu pernah muncul suatu gagasan untuk
membangun suatu sistem teologi yang dapat mendorong keberhasilan proses
pembangunan di Indonesia. Pada saat itu suatu gagasan yang disebut dengan
“Teologi Pem-bangunan”, bahkan di Kaliurang Yogyakarta, pernah diadakan seminar
tentang Teologi Pembangunan ini.
Gagasan
tentang Teologi Pembangunan ini dilandasi oleh asumsi-asumsi:
(1)
sistem teologi yang dianut oleh umat Islam Indonesia belum mampu mendorong dan
membangkitkan etos kerja yang tinggi.
(2)
umat Islam Indonesia mudah sekali menyerah ketika mengalami suatu kegagalan.
(3)
umat Islam Indonesia bersifat pasif, fatalis dan deterministic serta asumsi-asumsi
lainnya.
Namun
demikian, karena masalah teologi sangat sensitif, akhirnya gagasan-gagasan yang
pernah dicetuskan itu berakhir dengan tanpa memperoleh rumusan yang jelas dan
sistematis. Kalau kita mau mencermati dan mengkaji makna-makna yang terkandung
dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, maka kita akan menemukan banyak sekali bukti,
bahwa sesunguhnya ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras,
dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada tumbuhnya budaya dan
etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah
beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan
harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk mem-berikan pengertian dan
pemahaman yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam
yang sesungguhnya.
Etos
Kerja dalam Perspektif Islam
a. Pengertian Etos
Kerja dalam Islam
Membicarakan
etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam,
sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang
positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan
kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan
hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan
akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, se-seorang agaknya akan sulit
melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna
baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi,
langsung ataupun tidak langsung.
Menurut
Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan
seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu
memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan
bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti
ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah
melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya
kepada-Nya.
Toto
Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa
“bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan
mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau
menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira
ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
itu memanusiakan dirinya. Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk
sebuah rumusan:
KHI = T, AS (M,A,R,A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim
and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir
dan Zikir)
A = Action,
Actualization.
Dari
rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim)
adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan
saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai
suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah
yang sangat luhur.”
Sementara
itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang ber-etos kerja islami,
etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan
dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem
keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja).
Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja
Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman
dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak
dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan
sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu
mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang
terkait erat, bahkan tidak terpisahkan. Dari beberapa pendapat tersebut di
atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan
nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah
tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap
Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara
mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah
tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.
b.
Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam Sebagai agama yang menekankan arti
penting amal dan kerja, Islam meng-ajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan
berdasarkan beberapa prinsip berikut:
1.
Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat
dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, 17: 36).
2.
Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami
dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
3.
Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari
firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk
menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang
terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mulk: 67: 2). Dalam Islam,
amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan
amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar
mutu.
4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan
masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab,
sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu,
maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9:
105).
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos
kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh
sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah
akan kiamat.
6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang
telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan
hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk
pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan
bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan
imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik
dengan kebaikan.”(QS. 53: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang
paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R.
al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan
dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan
pengkajian terhadap-nya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam
agama.
7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda
Nabi yang amat ter-kenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada
niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan
mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan
jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama
manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut. Sabda Nabi
Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang
mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai
dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat
adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan
dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga
berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat
kesungguhan tertentu.
8.
Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja”
atau “amal” adalah bentuk ke-beradaan
manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau
mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal
dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku
ada” (Cogito ergo sum) –
karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran
Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku
berbuat, maka aku ada.” Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam.
Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia
usahakan sendiri:
“Belumkah ia (manusia) diberitahu
tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi
Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung
dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia
usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia
akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan
yang penghabisan”. Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan
bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni
apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu.
Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai
harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan. “Barang siapa benar-benar mengharap bertemu
Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada
Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan
pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi
sumber nilai terdalam pekerjaan manusia).
Dalam
ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk
mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah
fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Dalam
beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang
bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah
lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan,
atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi
kebutuhan pokok hidupnya.
9.
Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah
Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat
lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini:
“Orang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari
pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan.
Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada
Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka
janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan
begitu”. Sebaliknya ber-katalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun
yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan
“andaikan” itu membuka perbuatan setan”.
Dengan
demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi
Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan
(hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya
(bakatnya)…” Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka
bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.
Karena
perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan,
dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang
dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan
mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah). Maka adalah baik sekali
direnungkan firman Allah dalam surah al-Jumu’ah: “Maka bila sembahyang itu
telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah,
serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”.
Dari
prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan ciri-ciri orang yang
mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan
tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam
bahwa bekerja itu merupakan bentuk
ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya,
memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khaira ummah),
Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut:
1)
Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership)
2)
Selalu berhitung
3)
Menghargai waktu
4)
Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements)
5)
Hidup berhemat dan efisien
6)
Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship)
7)
Memiliki insting bersaing dan bertanding
8)
Keinginan untuk mandiri (independent)
9)
Haus untuk memiliki sifat keilmuan
10)
Berwawasan makro (universal)
11)
Memperhatikan kesehatan dan gizi
12)
Ulet, pantang menyerah
13)
Berorientasi pada produktivitas
14)
Memperkaya jaringan silaturrahim
Problema
Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam
Nilai
kerja dalam masyarakat Islam mulai merosot akibat berkembangnya pemerintahan
feodal yang zalim. Dalam sistem pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan
yang mewah di kalangan elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan
motivasi rakyat untuk bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat “lari”
kepada Tuhan. Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama dalam ajaran
Islam, bersifat membebaskan. Tauhid telah menghapus sistem hak milik feodal,
karena seluruh hak milik raja dan penguasaan tanah oleh kaum feodal itu
“diambil alih” oleh Tuhan untuk dilimpahkan kembali kepada rakyat. Tapi rakyat
yang tak bersenjata tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah
aliran tasawuf.
Dalam
dunia Islam di Timur Tengah, timbulnya aliran-aliran tasawuf berkorelasi
positif dengan berkembangnya pemerintahan otoriter. Dalam keadaan yang lemah
secara ekonomis, politis maupun mental, rakyat tidak bisa mendukung
pemerintahan. Itulah sebabnya pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur
oleh invansi dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum
Muslim adalah akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke tangan
penjajah karena pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan lemah karena didukung
oleh rakyat yang lemah akibat pemerintahan yang otoriter dan represif. Dewasa
ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam kategori
negara-negara sedang berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok negara-negara
yang pada masa Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde
Dunia sekarang yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam
malahan jatuh ke tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh
sistem kolonialisme. Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak
dan keterbelakangan di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi melalui
mekanisme kolonialisme dan imperialisme.
Eksploitasi
pada zaman penjajahan itu merupakan penjelasan atas terjadinya kemiskinan di
dunia Islam termasuk Indonesia. Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman
itu menimbulkan kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum muslim itu rendah,
padahal dewasa ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam. Filipina
juga sebuah negara yang masih terbelakang ekonominya, padahal mayoritas
penduduknya beragama Katolik. Sebab-sebab kemiskinan itu adalah faktor-faktor
yang kompleks yang terjalin dalam sejarah dan karena itu tidak bisa semata-mata
dikaitkan dengan etos kerja. Harapan perkembangan dunia Islam agaknya berasal
dari dunia pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata bergantung kepada
nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh
pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dkembangkan
adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Apabila kelak sudah banyak
tenaga-tenaga muda terpelajar di pusat dunia Islam, maka orientasi mereka
terhadap etos industri akan berkembang.
Dalam
konteks Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat dalam pergerakan Indonesia
agaknya mengambil tema yang berbeda-beda dari al-Qur‟an yang menyebabkan
tumbuhnya etos yang berbeda di antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah
dengan cita-cita kemasyarakatan ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun wa
Rabbun Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi). Muhammadiyah
mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104,
sedangkan ayat yang dijadikan dasar ber-organisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah
surah Ali Imran ayat 103. Di kalangan cendekiawan Muslim telah berkembang etos
di sekitar konsep Ulul al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali
„Imran ayat 190-191. Yang pertama menekankan dakwah amar ma’ruf nahy munkar,
sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat. Sementara itu, ICMI (yang
berdiri 7 esember 1990) menekankan peranan kelompok pemikir dalam perkembangan
masyarakat.
Penutup
Sebenarnya,
“etos kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai
etis” yang terkandung dalam ajaran Islam–al-Qur‟an dan al-Sunnah– tentang
keharusan dan keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara
sungguh-sungguh oleh umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi
tindakan dan kerja-kerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil
yang diharapkan lebih baik dan produktif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada
umat Islam agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan
ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar
dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami
dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif
terhadap rakyat. Oleh karena itu etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya,
harus dibenahi dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran
Islam.
Dalam
implementasinya, umat Islam merumuskan tema tertentu dalam mengembangkan etos
kerjanya; ada yang menampilkan etos “khaira ummah” sebagai dasar
pijaknya, ada pula etos “keadilan”, etos “musyawarah”, etos “ulul
al-bab”, etos “imamah”, etos “tauhid yang membebaskan”, etos
“iptek”, etos “persamaan gender”, etos “HAM”, etos “pluralisme”,
dan sebagainya. Semua tema tersebut pada dasarnya digali dari al-Qur‟an.
Munculnya keragaman tema karena latarbelakang umat Islam yang beragam dengan
segala kepentingan yang juga berbeda, sehingga skala prioritas yang mungkin
ingin ditujunya melalui tema-tema tertentu yang dianggapnya penting untuk
dikembangkan dalam konteks tuntutan dan semangat zamannya. Tujuannya tetap
sama, “hasanah” di dunia, dan “hasanah” kelak di akhirat. Dan ini
tidak berarti mengabaikan ayat-ayat al-Qur‟an lainnya yang tidak dirumuskan
dalam bentuk tema tertentu dimaksud. Setiap Muslim memiliki kesempatan dalam
mengakses ajaran al-Qur‟an sesuai kemampuan dan kebutuhannya. Disinilah kunci
utama universalisme ajaran Islam–shalih likulli zaman wa makan. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar